|
|
daLAM era global saat ini, setidaknya ada beberapa tuntutan yang harus segera mendapat perhatian serius oleh dunia pendidikan. Di antaranya adalah pentingnya sumber daya manusia yang berkualitas dan mempunyai dedikasi tinggi, tersedianya jaringan informasi yang mampu mengakses segala kebutuhan terhadap pemenuhan pendidikan. Inilah barangkali suatu mimpi yang harus dibangun dan lakukan oleh pendidikan nasional.
Derasnya
arus budaya dan informasi dari Barat yang tidak dapat lagi dibendung,
merupakan suatu kenyataan logis bahwa dalam era global sekarang ini
semuanya menjadi satu entitas (kesatuan). Karena perubahan tersebut
selalu diikuti dengan kecanggihan ilmu dan teknologi. Budaya yang masuk
ke negara kita telah mempengaruhi gaya hidup (life style)
masyarakat yang semakin maju. Fenomena yang terjadi adalah sikap
konsumen masyarakat meniru (imitasi) perilaku Barat. Setidaknya budaya
tersebut berimplikasi pada pembentukan pola pikir dan tingkah laku
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan juga tidak
menuntut kemungkinan bisa mengikis kesadaran budaya lokal secara
berlahan-lahan.
Sebagai
upaya untuk menangkal atau mengadaptasikan budaya tersebut maka sangat
tergantung pada mutu dan produk pendidikan sebagai proses penyadaran.
Namun ada beberapa parameter untuk mengukur kadar sampai seberapa jauh
intensitas keseriusan pemerintah dalam mencerdaskan dan menyadarkan masyarakat
dan bangsa ini. Pendidikan kita nampaknya masih banyak mengandung
muatan-muatan filosofis dan fiksi. Apalagi bicara tentang membendung
budaya luar yang semakin “gila” itu. Hal
ini bisa kita saksikan bahwa sistem pendidikan kita masih banyak
terlibat pada bias-bias atau kepentingan-kepentingan politik, belum bisa
mandiri (otonom). Karena itu, sesungguhnya banyak pula
“korban” yang telah dihasilkan oleh pendidikan masa lalu, akibat adanya
polarisasi politik yang luar bisa hebatntya.
Kondisi
pendidikan di negara kita, dinilai banyak pengamat 60% lebih gagal
total. Meskipun kuantitas lembaga pendidikan menjamur dimana-mana,
tetapi hasilnya sangat tidak maksimal dan memperhatinkan. Inilah
fenomena dan kondisi pendidikan nasional yang sangat memerlukan
penanganan serius oleh para ahli atau pakar pendidikan secara
profesional dan sungguh-sunguh. Sehingga krisis yang berimplikasi pada
semua bidang kehidupan secara luas juga ditentukan oleh salah satunya
dari krisis mutu pendidikan itu.
Beberapa
dekade terakhir ini, pendidikan kita banyak diwarnai dengan polarisasi
politik. Faktor politiklah yang banyak ikut membentuk dan mempengaruhi
sistem pendidikan ini, sehingga tidak bisa berjalan secara baik dan
maksimal sebagaimana kita harapkan bersama. Kadang-kadang pendidikan
dapat dijadikan sebagai mobilisasi untuk melegalkan serta memperkuat
kekuasaaan. Akibatnya, citra pendidikan seperti ini menjadi pudar
diterpa badai politik oleh kepentingan orang-orang yang bernafas pendek.
Budaya politik yang sangat otoriter dan angkuh itu dapat mematikan
sistem pendidikan yang seharusnya dapat tumbuh
dan berkembang secara cepat dan tepat dan seharusnya pula mampu
mengejar ketertinggalan dengan mutu pendidikan luar negeri.
Kartono
Kartini mengajukan sebuah sistem pendidikan demokrasi sebagai pilihan,
baik pilihan sistem pendidikan maupun sistem politik. Dasar argumennya
adalah kesadaran berbangsa dan bernegara itu sendiri muncul dalam
masyarakat Indonesia. Karena keinginan untuk merdeka dan demokrasilah
yang bisa menjamin kemerdekaan tersebut, dan dengan demikian, membawa cita-cita modernisasi.
Penjabaran
dari sistem pendidikan di atas, merupakan tujuan bersama rakyat,
melalui negara antara lain kemerdekaan dan mengembangkan kepribadian
melalui pendidikan. Sedangkan tujuan pendidikan itu sendiri adalah
“membebaskan diri dari berbagai belenggu” atau tegasnya membentuk
individu yang paripurna dan bertanggung jawab.
Di
samping itu, pendidikan juga bertujuan untuk menumbuhkan kepribadian
yang utuh, memperkaya rohani, melatih berfikir, melatih gelisa untuk
bertanya dan mencari jawaban sendiri. Tugas pendidikan sebenarnya
mengajak untuk sadar diri dan mengerti serta mampu mempraktekkan dalam
kehidupan secara riil. Sayangnya, sejauh yang penulis ketahui, bahwa
masih banyak para siswa dan tenaga pendidik yang kurang sadar dan
memiliki kepekaan tinggi.
Seperti
yang dikemukakan oleh Paulo Freire (tokoh yang cenderung kiri)
mengemukakan dalam thesisnya mengenai pendidikan kaum tertindas. Beliau
mengajukan sebuah metode konsientinasi (penyadaran). Metode ini
sangat baik untuk dijadikan landasan sebagai sistem pendidikan di
negara kita. Dengan metode ini diharapkan pendidikan akan memperlihatkan
pencerahan dan tumbuhnya bagi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang
demikian ini, akan merangsang jiwa untuk sadar diri, berkreasi dan
berimajinasi.
Paul
Freire mengecam pendidikan gaya “bank”, sebuah model pendidikan yang
tidak mendorong tumbuhnya iklim kondusif untuk bisa maju dan tidak pula
menghormati kemerdekaan manusia. Melalui model pendidikan tersebut,
siswa dibiarkan tidak diberi kesempatan untuk berfikir, bertanya dan
berdialog atau tukar pikiran. Mereka harus “tunduk dan pasrah” kepada
guru setiap apa yang disampaikan, tidak diberikan umpan balik sama
sekali dan bahkan menghukumnya apabila siswa terlalu “vokal dan kreatif”
sehingga membuat guru resah. Siswa diibaratkan oleh Paulo Freire sebagai “celengan atau pundi-pundi” yang diisi tampa peduli diserap atau tidak.
Sistem
pendidikan seperti ini dapat dijumpai di sana-sini pada pendidikan yang
ada. Secara kuantitas, lembaga sekolah (pendidikan) memang memadahi,
tetapi kondisi dan gaya seperti itu mana mungkin akan melahirkan sebuah
generasi yang berkualitas dan memiliki daya saing dengan keluaran
pendidikan dari luar negeri. Banyak lembaga sekolah, baik swasta maupun
negeri yang hanya mampu menampung siswa untuk belajar, tetapi belum siap
membina dan mengelolanya secara profesional. Inilah kendala kinerja
pendidikan yang masih semrawut.
Fenomena
di atas, tidak dapat dielakkan lagi dari pandangan kita. Lalu
sebenarnya di manakah jalan keluarnya untuk memecahkan persoalan
tersebut? Mantan rektor Universitas Indonesia (UI), Mahar Mardjono,
mengemukakan bahwa jika membangun kualitas, maka sarana pendidikan,
lingkungan pendidikan, dan sumber daya manusia harus dilengkapi
sebaik-baiknya. Selain itu, jumlah pelajar harus dibatasi, supaya
perhatian guru bisa konsentrasi kepada anak didik.
Di samping itu, tenaga pendidik harus qualified
dan memberi waktunya dengan penuh. “Dengan memilih ini, berarti kita
akan dapat memberikan pendidikan tersebut bagi sebagian besar orang yang
juga membutuhkannya”. Tenaga pendidik juga bisa diambil dari mana saja
asalkan mempunyai kredibilitas yang memadahi serta dapat dijadikan
contoh secara psikologis bagi siswa.
Demikain
pula fasilitas fisik juga mendukung terhadap kondusifitas proses
belajar mengajar. Ini harus diperhatikan oleh pendidikan supaya
kenyamanan belajar dan interaksi antara guru dan siswa dapat berlajan
maksimal. Fasilitas yang perlu dipenuhi itu, seperti laboratorium,
perpustakaan, tempat latihan-latihan olah raga, serta sarana pendukung
lainnya.
Pendidikan yang baik diibaratkan sebuah “aquarium”
yang di dalamnya terdapat ikan pilihan, sirkulaisi udara yang seteril,
makanan yang berkualitas, perawat yang profesional dan seterusnya.
Begitu juga pendidikan, semua yang berkaitan dengan kelengkapan
pendidikan atau proses belajar mengajar harus dilengkapi supaya kegiatan
tersebut dapat berjalan dengan sempurna.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar