Senin, 07 Januari 2013

ARTIKEL KEMISKINAN DI INDONESIA

 Harga BBM dan Jumlah Si Miskin


SETELAH sempat mengalami tarik ulur, Pemerintah akhirnya dengan berat hati memutuskan untuk menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terhitung mulai 1 April 2012 mendatang. Keputusan ini dibarengi optimisme: ekses inflasi yang ditimbulkan dapat dikelola dengan baik (manageable) serta kemampuan untuk menjaga dan melindungi daya beli mereka yang terkena dampakpenduduk miskin dan hampir miskin (kelompok menengah ke bawah).

Sejak era Orde Baru hingga kini, catatan pengentasan kemiskinan di Indonesia sebetulnya cukup mengesankan, terekam oleh data statistik yang ada. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sepanjang periode 1976-2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia secara umum terus menurun secara konsisten.
BPS mencatat, pada tahun 1976, jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta orang atau sekitar 40 persen dari total penduduk saat itu. Bandingkan dengan kondisi dewasa ini! Pada September 2011 lalu, misalnya, jumlah penduduk miskin menurut laporan BPS mencapai 29,89 juta orang atau sekitar 12,36 persen dari total penduduk Indonesia. Itu artinya, dalam kurun waktu 35 tahun, ada sekitar 24 juta orang yang berhasil dientaskan dari kemiskinan. Catatan yang sudah barang tentu sangat mengesankan.
Inflasi dan jumlah Si Miskin
Sepanjang periode 1976-2011, BPS mencatat, tren penurunan jumlah penduduk miskin hanya dua kali terkoreksi, yakni pada tahun 1998 dan tahun 2006. Di tahun 1998, jumlah penduduk miskin melonjak drastis sebagai akibat badai krisis ekonomi yang menghempaskan perekonomian nasional ke titik nadir.

Kala itu, perekonomian nasional mengalami kontraksi dan collepse. Pertumbuhan ekonomi terkoreksi sangat dalam hingga menembus angka -13,4 persen. Kondisi perekonomian kian mengkhawatirkan karena meroketnya harga barang-barang kebutuhan pokok. Inflasi pun menembus angka 77,63 persen.
Alhasil, krisis tahun 1998 betul-betul memukul telak daya beli sebagain besar penduduk negeri ini, khususnya kelompok menengah ke bawah. Kondisi ini mengakibatkan penduduk miskin kian bertambah miskin dan banyak penduduk hampir miskin akhirnya jatuh miskin.
BPS mencatat, pada tahun 1998, jumlah penduduk miskin mencapair 48,99 juta orang (24,23 persen), mengalami lonjokan sekitar 15 juta orang dibandingkan dengan tahun 1996. Apa yang terjadi di tahun 1998 tidak jauh berbeda dengan kondisi kemiskinan pada tahun 1978. Dengan lain perkataan, krisis tahun 1998 telah menjadikan capaian pengentasan kemiskinan mengalami kemunduran sejauh dua dekade. Pasca krisis tahun 1998, jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, dengan laju penurunan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan periode sebelum krisis.
Lonjakan jumlah penduduk miskin kembali terjadi untuk kedua kalinya pada tahun 2006. Kali ini, pemicunya adalah kebijikan pemerintah yang tidak populis, yakni keputusan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai respon terhadap naiknya harga minyak dunia pada tahun 2005.
Kebijakan tidak populis itu memacu inflasi hingga menembus angka 17,11 persen pada tahun 2005. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, terutama beras. Padahal, sebagian besar pendapatan penduduk kelompok menengah ke bawah dialokasikan untuk membeli beras. Selain itu, kontribusi komoditas ini terhadap pembentukan garis kemiskinan BPS sangat dominan, pada September 2011 lalu, misalnya, mencapai 26,6 persen di perkotaan dan 33,7 persen di perdesaan (BPS, 2012). Alhasil, seperti halnya krisis tahun 1998, kenaikan harga BBM pada tahun 2005 juga memukul telak daya beli penduduk miskin dan hampir miskin sehingga berujung pada lonjakan jumlah penduduk miskin.
BPS mencatat, pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin mencapai 39,30 juta orang (17,75), mengalami lonjakan sebesar 4,2 juta orang dari tahun 2005. Untungnya, kala itu, pemerintah cukup sigap dalam menjaga daya beli penduduk miskin dan hampir miskin dari gempuran inflasi dengan menggelentorkan dana Bantuan Langsung Tunia (BLT) sebagai bentuk kompensasi kepada sekitar 19,1 juta rumah tangga miskin dan hampir miskin yang diperkirakan terkena dampak kenaikan harga BBM. Terlepas dari segala kekurangannya, tanpa program bantuan tunai (cash transfer) seperti itu, dapat dipastikan, lonjakan jumlah penduduk miskin akan lebih besar lagi.
Pengalaman pada tahun 1998 dan 2006 menunjukkan kepada kita bahwa inflasi sangat bertalian erat dengan perubahan jumlah penduduk miskin. Shock  yang terjadi pada variabel ini dapat memicu lonjakan penduduk miskin.
Daya beli harus dijaga
Selama ini, BPS menggunakan pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) yang dikuantifikasi ke dalam nominal rupiah tetentu (garis kemiskinan) ketika menghitung jumlah penduduk miskin. Dengan metode seperti ini, perubahan jumlah penduduk miskin pada dasarnya hanya dipengaruhi oleh dua hal: pendapatan masyarakat dan pergerakan nilai garis kemiskinan (harga-harga kebutuhan dasar). Jumlah penduduk miskin dipastikan bakal naik jika peningkatan pendapatan masyarakat tidak mampu mengimbangi laju kenaikan nilai garis kemiskinan yang digerakan oleh inflasi. Pada kondisi ini, daya beli masyarakat jatuh. Dan inilah sebetulnya yang terjadi pada tahun 1998 dan tahun 2006 silam.
Apa yang terjadi pada tahun 2006 sebetulnya sangat erat kaitannya dengan kenyataan bahwa salah satu karakteristik persoalan kemiskinan di Indonesia adalah tingginya jumlah penduduk hampir miskin (near poor), yakni mereka yang menurut BPS memiliki nilai pengeluaran tidak lebih dari 20 persen di atas garis kemiskinan. Pada September 2011 lalu, misalnya, jumlah mereka telah mencapai 27,82 juta orang atau sekitar 11,5 persen dari total penduduk Indonesia (BPS, 2011). Sehari-hari, kondisi kesejahteraandaya belimereka sejatinya tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin, bahkan mungkin sama. Karenanya, mereka sangat rentan untuk jatuh miskin jika terjadi gejolak ekonomi yang memukul telak daya beli mereka, inflasi yang tinggi, misalnya.

Karena itu, setiap kebijakan pemerintah yang berujung pada naiknya angka inflasi harus dibarengi dengan kecermatan mengenai dampaknya terhadap lonjakan penduduk miskin, termasuk kebijakan untuk menaikkan harga BBM yang akan mulai diterapkan pada 1 April 2012 nanti. Pemerintah harus betul-betul menjamin bahwa ekses inflasi yang terjadi dapat dikelola dengan baik. Daya beli penduduk miskin dan hampir miskin juga harus dijaga. Untuk itu, program cash transfer seperti halnya BLT perlu dilakukan oleh pemerintah, tentunya dengan sejumlah penyempurnaan: varian jenis kompensasi yang diberikan harus diperlus dan lebih tepat sasaran. Jika tidak, dapat dipastikan, Si Miskin akan semakin miskin, dan jumlahnya akan melonjak. (*)

Koreksi Terhadap Pemberitaan Kompas.com


“Data (yang benar) mencerdaskan bangsa.” (Motto: Badan Pusat Statistik)
Pada Kamis (25/08/2011), KOMPAS.com memberitakan laporan yang dirilis oleh Asian Development Bank (ADB) tentang perkembangan kondisi kemiskinan Indonesia saat ini yang lebih buruk dibanding lima tahun lalu. Selengkapnya, isi berita yang dimaksud dapat Anda baca pada tautan berikut ADB: Penduduk Miskin Indonesia Bertambah. Terlepas berita ini bersumber dari kantor berita AFP, menurut saya ada dua hal yang janggal dan perlu dikoreksi.
Defenisi dan metode pengukuran kemiskinan
Sebelum membahas kejanggalan yang saya maksudkan, sangat penting bagi kita memahami terlebih dahulu defenisi kemiskinan dan bagaimana angka-angka kemiskinan itu diperoleh.
Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Defenisi ini menjukkan makna kemiskinan sangat laus dan multidimensi, serta tidak mudah untuk mengukurnya. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang bermartabat? Setiap orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapa dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Karenanya, hingga saat ini, tak ada satupun metode yang sempurna dalam memotret kemiskinan. Selama ini, pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan metode statistik−metode kuantitatif−yang banyak memiliki keterbatasan, karena tidak semua variable yang ingin diukur dapat dikuantifikasi.
Salah satu konsep pengukuran kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia,adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Di Indonesia, pengukuran kemiskinan dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun di bulan Maret. Dengan demikian, angka kemiskinan yang dimumkan oleh BPS sebenarnya adalah kondisi Maret, setelah Maret kondisi kemiskinan pasti berubah karena kemiskinan pada dasarnya bersifat dinamis.
Dalam prakteknya, pengukuran kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar menggunakan garis kemiskinan (GK) atau batas kemiskinan absolut sebagai instrument untuk menentukan miskin tidaknya seseorang. GK dapat dipandang sebagai jumlah rupiah minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan (setara dengan 2.100 kkal per hari) dan non-makanan (sandang, pangan, perumahan, dan kesehatan).
Untuk menghitung GK dan jumlah penduduk miskin, BPS melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Survei ini bertujuan untuk mendapatkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan mencacah sekitar 68 ribu sampel rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua. Karena didasarkan pada data survei, angka kemiskinan yang dihasilkan adalah estimasi atau perkiraan.
Bank Dunia juga menggunakan data ini untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Konsep yang digunakan oleh Bank Dunia pada dasarnya sama dengan yang digunakan oleh BPS, yang membedakan keduanya hanyalah GK yang digunakan. GK yang digunakan oleh Bank Dunia dalam dollar PPP (purchasing power parity/paritas daya beli). Dalam prakteknya, ada dua ukuran yang digunakan, yakni 1,25 dollar dan 2 dollar. Dollar PPP atau biasa disebut dollar internasional tidak sama dengan dollarcurrency (dollar AS). Jika dirupiahkan, nilai dollar PPP selalu lebih rendah dibanding dollar AS. Penjelasan mengenai dollar PPP dapat Anda baca pada tautan berikut 
Penggunaan GK dalam dollar PPP oleh Bank Dunia erat kaitannya dengan evaluasi pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs), yang salah satu sasarannya adalah mengurangi angka kemiskinan dunia hingga tinggal setengahnya pada tahun 2015. Karena Bank Dunia membutuhkan data kemiskinan yang comparable (dapat diperbandingkan) antar negara, maka digunakanlah GK dalam dollar internasional atau dollar PPP.
Kesamaan konsep dan sumber data yang digunakan BPS dan Bank Dunia dalam pengukuran kemiskinan mengakibatkan pergerakan angka kemiskinan hasil hitung-hitungan Bank Dunia selalu sejalan dengan hasil hitungan BPS−walaupun jumlah atau persentase penduduk miskinnya berbeda. Jika hasil hitungan BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin turun, maka hasil hitungan Bank Dunia juga akan menunjukkan hal yang sama.
****
Kekeliruan KOMPAS.com
Sebagaimana telah saya nyatakan sebelumnya, ada dua hal yang janggal dan perlu dikoreksi dari pemberitaan KOMPAS.Com yang bertajuk “ADB: Penduduk Miskin Indonesia Bertambah”. Kejanggalan pertama terdapat pada redaksi berikut
”Untuk diketahui, standar kemiskinan yang digunakan ADB adalah penghasilan di bawah 1,25 dollar AS per hari (sekitar Rp 10.625).”
Sebelumnya, telah saya sebutkan bahwa GK yang digunakan Bank Dunia adalah dalam dollar PPP bukan dollar currency (dollar AS). Kalimat di atas jelas keliru, karena GK yang digunakan oleh ADB seharusnya adalah 1,25 dollar PPP bukan 1,25 dollar AS. Jika Anda membaca publikasi ADB terbaru yang berjudul “ KEY INDICATORS FOR ASIA AND THE PASIFIC 2011”, pada halaman 147 Anda akan menemukan kalau GK yang digunakan oleh ADB dalam dollar PPP bukan dollar AS. Dan memang seperti itulah seharusnya, karena GK internasional ditujukan untuk komparasi antar negara. Jika menggunakan dollar AS, syarat perbandingan aple to aple tidak terpenuhi karena daya beli (purchasing power) dollar AS tidak sama pada setiap negera.
Sebagai ilustrasi, untuk membandingkan kinerja perekonomian antar negara, Bank Dunia dan lembaga-lembaga internasional lainnya, tremasuk ADB, selalu menggunakan Gorss Domestic Product (GDP) dalam dollar PPP dan GDP dalam dollar AS. Menurut data Bank Dunia, pada tahun 2010, GDP PPP (current price international $) Indonesia mencapai 1.029,79 juta dollar PPP, dan jika menggunakan dollar AS (current price US$) GDP Indonesia mencapai 706,56 juta dollar AS. Sementara itu, berdasarkan data BPS, GDP Indonesia atas dasar harga berlaku (current price) pada tahun 2010 sebesar Rp 6.422,9 triliun. Jika dicermati, di sini nampak jelas bahwa dollar PPP memang berbeda dengan dollar AS.
Berdasarkan angka-angka GDP Indonesia dalam dollar PPP dan dollar AS versi Bank Dunia, serta versi BPS (dalam rupiah), jika dilakukan konversi ke dalam rupiah, pada tahun 2010, 1 dollar PPP setara dengan sekitar Rp 6.255, sedangkan 1 dollar AS setara dengan sekitar Rp 9.075 (kurs dollar saat itu). Di sini terlihat jelas jika dirupiahkan, nilai 1 dollar PPP jauh lebih rendah dari 1 dollar AS.
Dengan demikian, jika dirupiahkan, garis kemiskinan ADB sebesar 1,25 dollar PPP bukan sekitar Rp 10.625, karena nominal ini diperoleh melalui hasil perkalian 1,25 dollar dengan kurs rupiah terhadap dollar saat ini. Dan menurut saya, hal ini adalah murni kekeliruan KOMPAS.Com dalam memberitakan laporan ADB (AFP). Saya yakin, baik ADB maupun AFP sama sekali tidak menyebutkan bahwa GK yang digunakan adalah dalam dollar AS.
Konversi GK yang keliru ini, ternyata dikutip oleh seorang kompasianer dalam tulisannya yang berjudul “Puluhan Triliun Rupiah Jelang Lebaran, Jurang Pun Makin Lebar “. Bahkan, dalam tulisan tersebut, penulis telah maju selangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa GK yang digunakan ADB sebesar Rp 318.750 per bulan. Angka ini diperoleh setelah mengalikan Rp 10.625 dengan 30, karena penulis berasumsi jumlah rata-rata hari dalam sebulan adalah 30 hari.
Orang yang tidak paham seluk beluk penghitungan angka kemiskinan tidak akan melihat hal ini sebagai kekeliruan yang vatal, bahkan mungkin akan mengamini isi tulisan tersebut. Dan inilah yang terjadi pada admin Kompasiana ketika menjadikan tulisan tersebut sebagai headline beberapa waktu yang lalu. Tetapi, bagi mereka yang paham seluk beluk penghitungan angka kemiskinan tentu tahu bahwa kekeliruan seperti ini sangat vatal.
Sepintas, perbedaan antara Rp 233.740 (GK BPS) dengan Rp 318.750 memang tidak terlalu jauh. Tetapi implikasinya terhadap angka kemiskinan yang dihasilkan akan sangat berbeda. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin dan hampir miskin Indonesia, yakni mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 280.488,  mencapai 57,14 juta orang atau sekitar 24 persen dari total populasi Indonesia. Dengan melihat angka ini, proporsi penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 318.750 tentu akan lebih besar lagi−kemungkinan di atas 30 persen dari total populasi−padahal, pada tahun 2009 saja, berdasarkan data Bank Dunia, jika menggunakan GK sebesar 1,25 dollar PPP, proporsi penduduk miskin Indonesia hanya sebesar 18,7 persen. Ini artinya, GK sebesar Rp 318.750 jauh dari setara dengan 1,25 dollar PPP.
****
Kejanggalan kedua terdapat pada redaksi berikut
“Jumlah penduduk miskin di Indonesia… bertambah dibanding lima tahun lalu. Ini mungkin disebabkan pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan meningkatkan Gross Domestic Product (GDP) dan atau disebabkan semakin luasnya kesenjangan sosial,” kata studi yang dilakukan ADB itu.
Saya ragu kalau kutipan di atas meruapakn hasil studi yang dilakukan ADB. Karena, jika demikian, hasil studi ADB akan sangat bertentangan dengan data kemiskinan yang dimiliki oleh BPS dan Bank Dunia. Berdasarkan data kedua institusi ini, selama lima tahun terkahir perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia justru sebaliknya, yakni secara umum menunjukkan tren yang menurun. Jika Anda tidak percaya, silahkan kunjungi tautun berikut
Hasil studi ADB tidak akan mungkin berseberangan dengan data-data kemiskinan BPS dan Bank Dunia. Karena untuk menghitung angka kemiskinan makro yang dapat dipercaya kevalidannya, ADB memerlukan basis data pengeluaran konsumsi rumah tangga. Dan untuk Indonesia, satu-satunya basis data konsumsi rumah tangga yang ada adalah data SUSENAS yang dihasilkan oleh BPS, yang juga digunakan oleh Bank Dunia ketika menghitung angka kemiskinan di Indonesia.
Indikator kemiskinan makro yang secara internasional umum digunakan adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) index. FGT index memiliki 3 ukuran kemiskinan, yakni persentase penduduk miskin (P0), tingkat kedalaman kemiskinan (P1) yang menggambarkan rata-rata selisih pengeluaran penduduk miskin terhadap GK, dan tingkat keparahan kemiskinan (P2) yang menggambarkan ketimpangan distribusi pendapatan penduduk miskin. Kemungkinan yang diamaksudkan oleh ADB dalam laporannya adalah perkembangan tingkat kedalaman dan atau tingkat keparahan kemiskinan saat ini yang semakin memburuk dibanding lima tahun yang lalu, bukan persentase atau jumlah penduduk miskin yang bertambah.
****
Kekeliruan yang terjadi pada pemberitaan di KOMPAS.com menunjukkan bahwa kehati-hatian dan kecermatan ketika menggunakan dan melaporkan angka-angka statistik adalah soal yang amat penting. Karena, interpretasi terhadap angka-angka statistik yang keliru akan menghasilkan pemahaman yang bias dan menyesatkan.
Interpretasi terhadap angka-angka statistik yang keliru memang sering terjadi pada kalangan elite negeri ini. Contohnya, para tokoh lintas agama yang menuduh pemerintah berbohong kepada publik soal data kemiskinan. Oleh mereka, pemerintah dianggap berbohong karena data jumlah penduduk miskinpada tahun 2010 yang mencapai 31,02 juta orang tidak konsisten dengan data jumlah penduduk penerima beras miskin (raskin) yang mencapai 70 juta orang.
Tuduhan di atas sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan data-data BPS, sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka kemiskinan yang berbeda. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, data jumlah penduduk penerima raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS pada survei Pendataan Program perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008, jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yang layak menerima raskin mencapai 17,5 juta rumah tangga. RTS mencakup rumah tangga miskin dan hampir miskin. Sehingga, dengan asumsi kasar bahwa setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang akan menerima raskin.
Anda tentu sepakat dengan saya, kalau pemfitnah tidak jauh berbeda dengan pembohong, keduanya adalah setali tiga uang.
****
Sumber tulisan KOMPAS.Com, Wikipedia, Data dan Informasi Kemiskinan (BPS, buku), KEY INDICATORS FOR ASIA AND THE PASIFIC 2011, 48th Edition, ADB, August 2011. Data-data bersumber dari World Bank, dan BPS

Menyoal Garis Kemiskinan BPS


Hari ini, Minggu (10/9/2011) pukul 13.47 WIB, KOMPAS.com menurunkan berita mengenai usulan untuk merevisi garis kemiskinan (GK) yang selama ini digunakan oleh Pemerintah−Badan Pusat Statistik (BPS)-dalam menghitung jumlah orang miskin di Indonesia. Selangkapnya, berita tersebut dapat Anda baca pada tautan berikut
Dalam berita tersebut dinyatakan bahwa Komisi XI DPR akan mengarahkan pemerintah agar mengubah GK yang saat ini ditetapkan setara dengan penghasilan Rp 230.000 per orang dalam sebulan.

GK yang ada saat ini dinggap salah kaprah karena mengabaikan mereka yang memiliki penghasilan sedikit di atas Rp 230.000 per bulan atau Rp 9.000 ribu perhari, padahal seorang pengemis saja sekarang ini bisa mengumpulkan lebih dari Rp 10.000 ribu per hari−kenyataannya memang banyak pengemis yang kaya, mereka pura-pura miskin dengan menjadi pengemis.
Lebih lanjut dalam berita tersebut dinyatakan Komisi XI DPR akan mendorong pemerintah untuk memasukkan satu pasal khusus dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN 2012 yang menekankan bahwa anggaran yang dialokasikan pada APBN 2012 adalah untuk mengatasi kemiskinan dengan target tertentu. Pasal itu juga harus menegaskan bahwa target pengentasan rakyat dari kemiskinan tersebut didasarkan atas garis kemiskinan yang baru.
Sebelum menanggapi isi berita tersebut, ada baiknya kita semua mengetahui dan memahami terlebih dahulu defenisi kemiskinan serta  bagaimana GK dan angka kemiskinan itu dihitung oleh BPS.
Defenisi kemiskinan
Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Defenisi ini menjukkan makna kemiskinan sangat laus dan multidimensi, serta tidak mudah untuk mengukurnya. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang bermartabat? Setiap orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapa dikuantifikasi, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

Karenanya, hingga saat ini tak ada satupun metode yang sempurna dalam memotret kemiskinan. Selama ini, pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan metode statistik−metode kuantitatif−yang banyak memiliki keterbatasan, karena tidak semua variable yang ingin diukur dapat dikuantifikasi.
Salah satu konsep pengukuran kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia,adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Di Indonesia, pengukuran kemiskinan dilakukan oleh BPS setiap tahun di bulan Maret. Dengan demikian, angka kemiskinan yang dimumkan oleh BPS sebenarnya adalah kondisi Maret, setelah Maret kondisi kemiskinan pasti berubah karena kemiskinan pada dasarnya bersifat dinamis.
Dalam prakteknya, pengukuran kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar menggunakan GK atau batas kemiskinan absolut sebagai instrument untuk menentukan miskin tidaknya seseorang. GK dapat dipandang sebagai jumlah rupiah minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Penduduk dengan pengeluaraan per kapita per bulan lebih kecil dari GK selanjutnya disebut miskin.
Mengenal lebih dekat metode penghitungan GK
Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, GK merupakan jumlah rupiah minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan. Karenanya, GK terdiri dari dua komponen yaitu GK Makanan (GKM) dan GK Non Makanan (KGNM).
GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal per kapita per hari. Dengan mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978, jumlah kalori sebesar ini merupakan jumlah kalori minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk bisa beraktivitas secara normal, bekerja untuk memperoleh pendapatan. Selanjutnya, paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi, yakni padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, dll.
Sementara itu, GKNM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makananan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk.
GK merupakan hasil penjumlahan GKM dan GKNM yang dihitung secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan pada masing-masing provinsi−jika ukuran sample memungkinkan, maka penghitungan GK juga dapat dilakukan sampai tingkat kabupaten/kota. GK sebesar Rp 233.740 pada tahun 2011 merupakan rata-rata nasional dari 33 provinsi untuk daerah perkotaan dan perdesaan.
Penghitungan GK didasarkan pada database pengeluaran konsumsi dari 68.000 sampel rumah tangga di seluruh Indonesia yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). SUSENAS ditujukan untuk menangkap pola konsumsi rumah tangga di seluruh Indonesia. Dari survei ini diperoleh secara rinci alokasi pengeluaran konsumsi rumah tangga atas kebutuhan makanan dan non makanan setiap bulannya, yang apa bila dirinci akan mencakup lebih dari 500 item pengeluaran. Dengan demikian, dari data SUSENAS akan diperoleh nilai pengeluaran konsumsi komoditi makanan dan non makanan yang digunakan dalam penghitungan GK. Karena dihitung berdasarkan data survei, angka kemiskinan yang dihasilkan pada dasarnya hanyalah estimasi.
Sebelum GK dihitung, terlebih dahulu ditentukan kelompok reference population, yaitu 20 persen penduduk yang nilai pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan sementara (GKS). Kelompok ini disebut penduduk kelas marjinal atau dalam bahasa awan disebut penduduk hampir miskin. Dari kelompok penduduk ini kemudian dihitung GKM dan GKNM. Dengan lain perktaan, pada dasarnya GK merupakan nilai pengeluaran penduduk kelas marjinal untuk memenuhi kebutuhan dasarnya−makanan dan non makanan.
GKS dihitung berdasarkan GK periode sebelumnya yang di-inflate atau digerakkan dengan inflasi umum. Itulah sebabnya, dari tahun ke tahun nilai nominal GK terus minangkat mengikuti pergerakan inflasi. Dan hal ini sekaligus membantah tuduhan dari sebagian orang bahwa selama ini BPS merekayasa angka kemiskinan dengan menurunkan nilai GK yang digunakan agar angka kemiskinan turun.
Selanjutnya, berdasarkan data SUSENAS, penduduk dengan pengeluaran per kapita perbulan di bawah garis kemiskinan disebut miskin. Terus, apakah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan sedikit di atas GK lantas disebut kaya? Jawabannya adalah “tidak”. Mereka tidak kaya, tetapi hampir miskin.
Kata hampir secara kuantitatif menunjukkan bahwa pengeluaran mereka berbeda tipas dengan penduduk miskin dan tidak signifikan dalam membedakan tingkat kesejahteraan mereka dengan penduduk miskin. Sehari-hari, kondisi kesejahteraan mereka dibanding penduduk miskin mungkin tidak jauh berbeda, bahkan sama−defenisi hampir miskin dapat diubah sesuai kebijakan suatu negara. Dan inilah kelemahan dari pengukuran kemiskinan dengan menggunakan GK atau batas kemiskinanobsolute. Bukanhanya di Indonesia, di negara mana pun juga seperti ini. Untuk lebih jelasnya, berdasarkan data tahun 2011, berikut adalah ilustrasinya :
 [Picture Under Constructed]

Berdasrakan peraga di atas, terlihat jelah bahwa penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp 233.470 atau sekitar Rp 7782 rupiah per hari. Pada Maret 2011, jumlahnya sebesar 30.02 juta orang. Adapun penduduk hampir miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan antara Rp 233.470 - Rp 280.488. Atau dengan lain perkataan, selisih nilai pengeluaran mereka dengan GK tidak lebih dari 20 persen. Dan pada Maret 2011, jumlah mereka mencapai 27,12 juta orang.
Jika diperluas, maka diperoleh kelompok penduduk hampir tidak miskin dan penduduk tidak miskin. Penduduk hampir tidak miskin adalah mereka dengan nilai pengeluaran per kapita per bulan antara Rp 280.488- Rp 350.160. Adapun, penduduk tidak miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih dari Rp 350.160 atau sekitar Rp 12.000 per hari. Atau dengan lain perkataan, selisih nilai pengeluaran mereka dengan GK lebih dari 50 persen.
Catatan penting
Penting untuk diperhatikan bahwa pendekatan yang digunakan ketika menghitung angka kemsikinan adalah pengeluaran, bukan penghasilan. Dua hal ini tentu berbeda, karena penghasilan biasanya dihasilkan oleh satu kepala keluarga, tetapi dikeluarkan kepada seluruh anggota keluarganya.
Dengan demikian, jika satu keluarga beranggotakan empat orang, maka keluarga yang dianggap miskin adalah keluarga yang hanya berpengeluaran di bawah Rp. 934.960/keluarga/bulan atau setara dengan Rp 31.165/keluarga/hari . Dan keluarga tidak miskin adalah keluarga dengan pengeluaran di atas Rp 1.400.000/keluarga/bulan atau setara dengan Rp 46.667/keluarga/hari.

Dengan melihat angka-angka di atas, nampak jelas bahwa GK yang digunakan oleh BPS sangat rasional dan telah sesuai dengan realitas kondisi ekonomi penduduk Indonesia saat ini. Kita tidak bisa membantah sesuatu yang dihasilkan melalui suatu metodologi yang didesain secara ilmiah untuk mewikili populasi, yakni seluruh penduduk Indonesia yang tersebar di 33 provinsi baik itu di perdesaan maupun perkotaan, dengan menggunakan penarikan kesimpulan secara parsial, yakni berdasarkan apa yang kita saksikan di kanan-kiri lingkungan tempat tinggal kita yang kemudian kita anggap sebagai realitas populasi. Anda yang tinggal di perkotaan mungkin tidak tahu bahwa data statistik hasil sensus penduduk menunjukkan sekitar 50 persen penduduk Indonesia hidup di daerah perdesaan. Dan sebuah keluarga dengan pengeluaran Rp 30.000/hari di daerah perdesaan sangat tidak pantas untuk disebut miskin.

Jika ditelaah lebih jauh lagi, nilai Rp. 934.960 akan sesuai dengan rata-rata batas upah minimum di Indonesia, bahkan lebih tinggi dari upah minimum beberapa provinsi di Indonesia. Dan suatu keluarga dengan kepala keluarga seorang pengemis berpenghasilan Rp 10.000 per hari dapat dipastikan bakal sulit memiliki penghasilan di atas Rp. 934.960 per bulan.
Selain itu, penting pula untuk diperhatikan bahwa data kemiskinan yang dihasilkan dengan menggunakan GK adalah data kemiskinan makro. Data ini hanya dapat digunakan untuk melihat perkembangan jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu beserta karakteristiknya sehingga perencanaan penurunan tingkat kemiskinan dapat dikaitkan dengan perencanaan pembangunan dalam bidang lainnya seperti perencanaan tingkat pertumbuhan, investasi, dan peningkatan kesempatan kerja, serta untuk mengevaluasi kebarhasilan program-progran anti kemiskinan yang telah dilakukan oleh pemerintah dari waktu ke waktu.
Untuk program-program anti kemiskinan yang sifatnya target sasaran−jaring-jaring pengaman sosial, seperti raskin, PKH, Jamkesmas, dll−data kemiskinan makro tidak dapat digunakan, karena hanya mampu menggambarkan jumlah dan persentase penduduk miskin beserta karakteristiknya. Data ini tidak bisa menjawab pertanyaan, siapa si miskin dan dimana alamatnya? Karenanya, untuk program-program anti kemiskinan yang sifatnya target sasaran dibutuhkan data kemiskinan mikro yang memuat informasi tentang siapa si miskin dan di mana alamatanya (direktori rumah tangga msikin).
Data kemiskinan mikro dihasilkan melalui metode yang berbeda dengan data kemiskinan makro yang menggunakan GK. Pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa cepat dan hemat biaya. Sampai saat ini baru tiga kali BPS mengumpulkan data kemiskinan mikro: Oktober 2005, September 2008, dan Juli 2011−yang masih sementara berjalan.

Data yang diperoleh disebut data rumah tangga sasaran (RTS) dan mencakup bukan hanya rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.Jumlah RTS hasil pendataan September 2008 adalah 17,5 juta. Dengan asumsi kasar rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang, diperoleh angka 70 juta jiwa penduduk miskin dan hampir miskin.
Tanggapan atas usulan untuk merevisi GK
Usulan Komisi XI DPR untuk merevisi GK yang ada kurang tepat. Karena GK tersebut dihasilkan melalui suatu metodologi baku yang merujuk pada standar internasioanl−United Nations (UN). Merevisi GK sama artinya dengan mengubah metodologi yang ada. Padahal, metode tersebut adalah yang terbaik saat ini, meskipun masih memiliki kekurangan.
Seharusnya, Komisi XI DPR mendorong pemerintah agar meningkatkan anggaran untuk perbaikan penyelanggraan kegiatan statitsistik-termasuk perbaikan dan penyempurnaan metodologi-sehingga diperoleh data kemiskinan yang lebih berkualitas. Misalnya, dengan meningkatkan jumlah sampel yang digunakan dalam SUSENAS. Jumlah 68.000 sample rumah tangga yang ada selama ini masih perlu ditingkatkan.
Dan yang paling penting, Komisi XI DPR hendaknya mendorong pemerintah untuk meningkatkan jumlah penduduk yang menjadi target program-program anti kemiskikan, yakni program jaring-jaring pengamanan sosial (JPS) yang selama ini dikelola oleh Kementrian Sosial seperti Jamkesmas, PKH (program keluarga harapan), PNPM Mandiri, Raskin, beasiswa untuk orang miskin, dan beberapa program kesejahteraan sosial lainnya.
Yang menjadi target hendaknya bukan hanya mereka yang miskin dan hampir miskin (pengeluaran di bawah 1,2 GK), tetapi juga mereka yang termasuk kelompak hampir tidak miskin (pengeluaran di bawah 1,5 GK). Dan konsekwensi dari hal ini sangat jelas, yakni pemerintah harus meningkatkan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk program-program pengurangan kemiskinan. (*)

Angka Kemiskinan Terbaik Punya BPS


Setelah membaca postingan seorang kawan perihal garis kemiskinan BPS yang kembali diributkan oleh para wakil rakyat yang tengah kehilangan kepercayaan karena berbagai tingkah mereka yang seringkali melukai hati rakyat itu mulai dari kesenangan  berpelancong ke luar negeri dengan dalih studi banding, budaya kleptomania merampok uang negara, hingga yang terbaru kasus mafia anggarangairah saya terhadap persoalan kemiskinan kembali menyeruak, setelah sempat padam karena terlalu sibuk dengan ramalan produksi padi dan palawija.

Saya akan menanggapi isi tautan tersebut  sebagai seorang statistisi didikan BPS, bukan sebagai politisi yang seringkali subjektif sesuai kepentingan yang diusung. Dalam ranah politik, kebenaran seringkali kabur dan tidak jarang mengalami deviasi. Sesuatu yang sejatinya benar bisa menjadi salah jika sebagian besar dari anggota dewan yang katanya terhormat itu mengatakannya sebagai suatu kesalahan.

Mengukur Kemiskinan Tidaklah Semudah Menggunakan Penggaris
Kata kemiskinan adalah sesuatu yang sangat kaulitatif. Karenanya,  sangat sulit untuk mengkurnya secara kuantitatif. Sebagai contoh, jika setiap orang diminta melengkapi kalimat berikut, "saya miskin karena......". Akan ada ratusan, bahkan ribuan kata yang bisa digunakan untuk melengkapi kalimat ini, tergantung orangnya. Dan pastinya, tidak semua bisa dikuantitatifkan. Singkat kata, mengukur kemiskinan tidaklah semudah mengukur panjang suatu objek riil dengan sebuah penggaris. Untuk menjelaskan hal ini, saya sadurkan buat Anda tulisan dari Dr. Kecuk Suhariyanto  di Koran Kompas (12 Januari 2011), dalam artikel yang berjudul “Jumlah Si Miskin” beliau menulis sebagai berikut:
Mencoba menghitung jumlah penduduk miskin bukan pekerjaan mudah.
Setakat ini belum satu pun metodologi yang sempurna memotret
kemiskinan. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat
seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

  
Hanya terdiri dari satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas sehingga
bisa mengundang perdebatan panjang. Contohnya, apa yang dimaksud
dengan kehidupan bermartabat. Apa pula yang termasuk hak-hak dasar?
Apalagi, tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, seperti rasa aman
dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.

  
Dari definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah
multidimensi. Sulit mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan
pengukuran yang dipakai.

  
Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak
negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas
mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai
ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan.

  
Dalam terapannya, dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Penghitungan penduduk
miskin ini didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga
hasilnya sebetulnya hanyalah estimasi.

  
Data yang dihasilkan biasa disebut data kemiskinan makro. Di
Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi
Nasional. Pencacahannya dilakukan setiap Maret dengan jumlah sampel
68.000 rumah tangga. BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak
tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin
bisa diikuti dari waktu ke waktu .
Mengapa Garis Kemiskinan yang Digunakan Di Setiap Negara Berbeda?
Dalam penghitungan kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs), garis kemiskinan (GK) merupakan instrument yang sangat penting. GK yang tidak tepat akan menghasilkan pengukuran kemiskinan yang menyesatkan. Pada dasarnya,  GK merupakan jumlah rupiah yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar ini mencakup kebutuhan  makanan yang setara dengan 2.100 kkal per hari dan kebutuhan non-makanan (sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan).
Dalam prakteknya, GK merupakan jumlah pengeluaran reference population20 persen populasi yang pengeluarnnya di atas GK sementaraatas sejumlah komoditi makanan dan non-makanan yang biasa disebut basket commodity. Komposisi komoditas yang menyusun basket ini beserta harganya sangat memengaruhi pergerakan nilai GK.

Komposisi komoditas makanan dan non-makanan penyusun GK berbeda-beda pada tiap negara, sesuai dengan pola konsumsi penduduknya. Itulah sebabnya kenapa nominal GK yang digunakan di setiap negara juga berbeda. Karena itu, GK yang digunakan di Vietnam belum tentu representatif jika digunakan di Indonesiasekedar infromasi kawan, ketika menghitung angka kemiskinan orang Vietnam sebenarnya datang belajar ke BPS, karena untuk urusan yang satu ini kita dinobatkan sebagai yang terbaik di Asia-Pasifik.

GK Nasional (BPS) Vs GK Bank Dunia
Salah satu penyakit kronik bangsa ini adalah nasionalisme yang melempem. Mungkin, itulah sebabnya kenapa Indonesia hingga kini belum mempunyai produk atau brand nasional yang bisa eksis dan kompetitif di pasar internasional (go international), semisal Jepang yang begitu digdaya dalam industri otomotif dunia lewat sederet merek seperti Toyota, Honda, dan Yamaha atau Korea Selatan yang berjaya dengan Samsung dan Hyundai-nya. Di pasar internasional, kita hanya dikenal sebagai negera pengekspor bahan mentah (raw material) dan TKI.
Menurut Rhenald Kasali, sang pakar manajemen itu, suatu produk/brand akan eksis di pasar internasionalluar negeri jika di dalam negeri produk/brand tersebut juga eksisminimal dihargai. Itulah yang terjadi pada Jepang dan Korea, semangat nasionalisme yang diwujudkan melalui kecintaan dan kebanggaan mereka  terhadap produk dalam negeri begitu kuat. Konon kabarnya, walaupun bermukim di Amerika, dalam urusan membeli mobil, orang Korea akan berusaha mati-matian untuk mendapatkan mobil dengan merek Hyundai meskipun dengan harga yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan mobil-mobil produksi Amerika. Sesuatu yang amat kontras jika dibandingkan dengan kebiasaan orang kita yang begitu doyan terhadap segala sesuatu yang berbau impor. Dalam mindset mereka, produk impor/buatan luar negeri selalu lebih baik.

Dalam urusan memilih angka kemiskinan yang terjadi juga demikian. Sebagian Ekonom dan Politisi negeri ini lebih memilih untuk menggunakan angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia ketimbang angka BPS. Dalam pandangan mereka,  angka kemiskinan Bank Dunia jauh lebih baik dan akurat jika dibandingkan dengan angka BPS. Pandangan yang sudah tentu keliru, karena pada dasarnya metode yang digunakan oleh kedua institusi ini sama saja. Yang membedakan antara keduanya hanyalah garis atau batas kemiskinan yang digunakan. Bahkan, data yang digunakan oleh Bank Dunia dalam menghitung angka kemiskinan sebenarnya adalah data  Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang tidak lain dan tidak bukan adalah data BPS. 
Selain itu, angka kemiskinan BPS dan angka kemiskinan Bank Dunia bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Karena pada dasarnya,  keduanya saling mendukung dan digunakan untuk tujuan yang sedikit berbeda. 
Terkait evaluasi terhadap pencapaian target MDGs, yang salah satunya adalah mengurangi angka kemiskinan dunia hingga tinggal setengahnya pada tahun 2015, Bank Dunia membutuhkan data kemiskinan yang comparable (dapat diperbandingkan) antar negara. Dalam hal ini, angka kemiskinan yang dihitung berdasarkan GK nasional di setiap negara tentu tidak dapat digunakan karena basket commodity yang digunakan berbeda pada tiap negara. Selain itu, jika GK nasional setiap negara dikonversi ke dalam dollar PPP, maka nominalnya akan berbeda-beda. Pada kondisi seperti ini, syarat perbandingan aple to aple ketika memperbandingkan angka kemiskinan antar negara tidak terpenuhi. Karena itu, sebagai solusinya, Bank Dunia kemudian menghitung angka kemiskinan berdasarkan GK yang distandardisasi dalam ukuran dollar PPP (paritas daya beli, bukan dollar kurs seperti yang salah dipahami oleh sebagian ekonom dan politisi). Dalam prakteknya, ada dua ukuran yang digunakan yakni 1 dollar PPP dan 2 dollar PPP. GK Nasional (BPS) sendiri setara dengan 1.5 dollar PPP. Jika kemudian timbul pertanyaan, GK mana yang paling representatif  untuk Indonesia ? Jawabannya adalah punya kita (BPS). (*)

Di Balik Angka Kemiskinan


Untuk pertama kalinya sejak tahun 1984, pada tahun 2011 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) dua kali menghitung jumlah penduduk miskin dalam satu tahun. Sebelumnya, penghitungan jumlah penduduk miskin hanya dilakukan BPS pada bulan Februari/Maret. Dan sejak tahun 2011, selain pada bulan Maret penghitungan jumlah penduduk miskin juga dilakukan pada bulan September.
Hasil penghitungan jumlah penduduk miskin pada September 2011 baru saja dirilis tiga hari yang lalu (2/1). Dalam rilis tersebut BPS menyebutkan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2011 diperkirakan sebanyak 29,89 juta orang  atau sekitar 12,36 persen dari total populasi. Jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2011 di mana jumlah penduduk miskin kala itu diperkirakan mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), itu artinya telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 130 ribu orang atau 0,13 persen selama periode Maret-September 2011.
Mengecewakan
Saya kira, ini adalah sebuah hasil yang mengecewakan dari upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan selama ini, dan tidak berlebihan kiranya kalau dianggap sebagai indikator buruknya kinerja pemerintahan saat ini dalam mengentaskan kemiskinan. Betapa tidak. Enam bulan tentu bukanlah waktu yang singkat. Seharusnya, dengan waktu setengah tahun itu capaian pemerintahdengan segala rupa program pengentasan kemiskinannya yang berlapis (4 klaster) dan menelan biaya yang tidak sedikit itulebih baik lagi. Hanya 130 ribu orang tentulah teramat kecil dan sama sekali tidak memuaskan.

Buruknya kinerja pemerintah dalam pengentasan kemiskinan semakin terang dan jelas bagi kita ketika menelaah ke mana larinya 130 ribu orang penduduk miskin yang telah berubah status itu. Mudah untuk diduga, tak mungkin meleset, bahwa mereka sebetulnya hanya bergeser sedikit di atas Garis Kemiskinan (GK). Dengan lain perkataan, mereka hanya menambah jumlah penduduk hampir miskin negeri ini yang terus bertambah selama tiga tahun terakhir (lihat peraga di atas).
Inilah sebetulnya yang juga terjadi ketika BPS melaporkan bahwa sepanjang periode Maret 2010-Maret 2011 lalu  telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 1 juta orang. Yang satu 1 juta orang itu sebetulnya tidak berubah menjadi sejahtera. Mereka hanya berubah status menjadi hampir miskin, yang pada tahun 2011 lalumenurut hasil hitungan BPSdiperkirakan jumlahnya telah menembus angka 27,12 juta orang.
Frasa ‘hampir miskin’ (near poor) secara kuantitaf menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat kesejahteraan mereka tidak terlalu signifikan berbeda dengan penduduk miskin. Terlepas dari konsep yang digunakan BPS dalam menetapkan siapa ‘si miskin’ (poor), tidak salah kalau kita menyatakan bahwa merekayang hampir miskin itusejatinya juga miskin. Karena kenyataannya, sehari-hari kondisi kesejahteraan mereka tidak jauh berbeda, bahkan sama dengan ‘si miskin’. Mengapa bisa demikian? Jawabannya: karena secara rata-rata pengeluaran per kapita mereka hanya berselisih tidak kurang 20 persen dari GK yang menyababkan mereka ‘selamat’ dari kategori miskin (lihat peraga di bawah).

Kronik dan kurang berkualitas
Melambatnya penurunan jumlah penduduk miskin merupakan indikasi kuat kroniknya (chronic poverty) kondisi kemiskinan yang dialami oleh sekitar 30 juta penduduk negeri ini. Yang menyebabkan mereka begitu sulit keluar dari jerat kemiskinan. Mereka adalah orang-orang yang termarginalkan dalam kehidupan sosialnya, berpendidikan rendah dan tak memiliki keahlian, tak memiliki akses terhadap faktor produksi, serta petani gurem atau buruh tani di perdesaan. Tidak sedikit diantara mereka terkategorikan sangat miskin (poorest of the poor)menurut konsep BPSdengan pengeluaran per kapita sangat jauh lebih kecil dari GK. Dan berbagai program pengentasan kemiskinan berlapis pun akan sulit mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan.
Lambatnya penurunan jumlah penduduk miskin juga merupakan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama ini belum berkualitas. Jauh dari yang namanya pro-poor, karena sebagian besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil kelompok penduduk negeri ini, yang pastinya bukan penduduk miskin. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akses terhadap faktor produksi. Dengan lain perkataan, pertumbuhan yang terjadi tidak diikuti adanya pemerataan (growth with equity). Ini ditunjukan oleh nilai Indeks Gini yang terus menigkat selama beberapa tahun terakhir.
Dengan membandingkan angka-angka pertumbuhan ekonomi dan angka-angka kemiskinan yang ada selama ini, sudah cukup menjadi bukti rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi yang kerap kali dibanggakan oleh pemerintah itu. Jika menengok data BPS, sepanjang triwulan II dan III 2011 (periode April-September) secara rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5 persen. Padahal pada periode yang hampir sama, yakni sepanjang Maret-September 2011, jumlah penduduk miskin hanya berkurang sebesar 130 ribu orang atau sekitar 0,13 persen. Itu artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi memiliki dampak yang lemah dan tidak terlalu signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin.
Tidak ada yang salah dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bahkan sudah seperti itulah seharusnya. Tetapi alangkah lebih elok tentunya, kalau angka-angka pertumbuhan ekonomi yang mengesankan itu juga dibarengi dengan penurunan jumlah penduduk miskin yang juga mengesankan.(*)

Rokok dan Si Miskin


Tahun ini, pemerintah berencana menaikkan cukai tembakau sebesar 12,2 persen. Selain untuk mencegah peredaran rokok dan cukai ilegal serta menggenjot penerimaan pemerintah, tujuan  langkah ini diambil adalah untuk mengurangi tingkat konsumsi rokok penduduk negeri ini yang memang masih sangat tinggi. Langkah menaikkan tarif cukai tembakau untuk mengurangi konsumsi rokok sebetulnya kurang efektif. Karena, kebiasaan merokok adalah sesuatu yang adiktif, dan orang akan berhenti merokok karena kesadaran, bukan karena harganya yang menjadi sediki lebiht mahal.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan BPS pada tahun 2007 menunjukkan bahwa secara rata-rata penguluaran untuk rokok mencapai 12,4 persen dari total pengeluaran setiap penduduk Indonesia setiap bulannya, nomor dua setelah pengeluaran untuk padi-padian (19 persen). Bahkan, pengeluaran untuk rokok ternyata lebih tinggi tiga kali lipat dibanding pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Dan data ini saya kira masih representatif untuk kondisi saat ini.

Selain itu, ada data yang menunjukkan—walaupun masih perlu dipertanyakan kevalidannya—bahwa rata-rata pengeluaran per kapita untuk rokok penduduk Indonesia mencapai Rp135.000 per bulan. Dan saat ini, jumlah perokok di negeri ini mencapai 34 persen dari total populasi yang diperkirakan telah menembus angka 240 juta orang.
Persoalan mengenai konsumsi rokok di negeri ini tidak hanya menyangkut tingginya jumlah perokok. Lebih dari itu, kebiasaan mengisap racun ini ternyata telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian banyak remaja, bahkan balita di negeri ini.
Saat ini, tidak sulit bagi kita untuk menemukan anak-anak usia SD, SMP, apalagi SMA berkeliaran di jalan-jalan dengan sebatang rokok di tangannya. Anda juga tentu masih ingat dengan kasus seorang balita dari Kalimantan Timur (Kaltim) yang punya kebiasaan unik, yakni menghisap rokok bak orang dewasa—yang dengan itu dia dijuluki baby smoker—beberapa waktu yang lalu. Ternyata, menurut informasi dari Gubernur Kaltim, masih ada sekitar 15 ribu balita lainnya di Kaltim yang juga memiliki kebiasaan yang sama. Itu baru di Kaltim. Bagaimana dengan di provinsi-provinsi lainnya?
Kebiasaan merokok ternyata juga tidak menjadi monopoli mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang baik—berpendapatan menengah atau tinggi—statistik yang ada menunjukkan sekitar 70 persen perekok di negeri ini ternyata adalah penduduk berpendapatan rendah alias miskin. Bahkan, pengeluaran untuk rokok di kalangan penduduk miskin cukup tinggi, menempati posisi kedua setelah pengeluaran untuk beras.
Data yang dirilis oleh BPS Senin lalu (2/1) menunjukkan kontribusi rokok terhadap pembentukan garis kemiskinan menempati posisi kedua setelah beras, yakni sebesar 8,31 persen di perkotaan dan 7,11 persen di perdesaan. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan penduduk miskin, selain dialokasikan untuk membeli beras, juga dialokasikan untuk membeli rokok.
Padahal, dengan mengkonsumsi rokok tidak ada sama sekali kalori yang diperoleh, dan tentu akan lebih bermanfaat jika pendapatan yang digunakan untuk membeli rokok dialokasikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, misalnya, untuk pemenuhan protein atau untuk biaya pendidikan dan kesehatan.Yang sedikit banyak dapat membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan.
Tingginya konsumsi rokok di kalangan penduduk miskin—yang sedikit banyak menyebabkan mereka menjadi semakin sulit keluar dari jerat kemiskinan—adalah sebuah ironi jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa mereka yang terkaya di negeri ini justru adalah para penggiat industri racun ini, para pemilik pabrik-pabrik rokok.
Sebagaimana diberitakan dalam majalah Forbes beberapa waktu yang lalu (23/11/2011). Orang terkaya di Indonesia adalah dua bersaudara Budi Hartono dan Michael Hartono dengan nilai kekayaan mencapau 14 milai dollar AS atau setara dengan 127 triliun rupiah, disusul oleh Susilo Wonowijoyo di posisi kedua dengan nilai kekayaan mencapai 10 miliar dollar AS atau sekitar 91 triliun rupiah. Sebagian Anda tentu tahu, Hartono bersaudara adalah pemilik PT. Djarum, begitupula dengan Susilo Wonowijoyo adalah pemilik PT.Gudang Garam.
Saya tidak mempersoalkan kekayaan para pemilik pabrik rokok itu. Terlepas bahwa apa yang mereka produksi adalah racun, mereka tentu telah berkontribusi terhadap perekonomian nasional melalui penyerapan tenaga kerja dan penerimaan pajak. Tetapi, industri rokok yang menjadikan segelintir orang di negeri ini kaya raya bukan kepalang, dan di sisi lain memiskinkan puluhan juta penduduk negeri ini tentu sebuah ironi dan ketidakadilan.
Dan pada tahun ini, produksi rokok nasional diperkirakan akan mencapai 268,4 miliar batang. Jumlah yang sudah barang tentu tidak sedikit jika dirupiahkan. Jika diasumsikan harga satu batang rokok Rp500,- rupiah saja, itu artinya nilai produksi rokok tahun ini bisa mencapai Rp134,2 triliun rupiah. Angka yang sangat fantastis, dan Anda tentu bisa menerka siapa saja yang bakal diuntungkan dan menjadi lebih kaya dengan nilai produksi sebesar itu. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah pemilik nama-nama yang telah saya sebutkan di atas. Terus bagaimana dengan nasib perokok miskin yang jumlahnya tidak sedikit di negeri ini, apakah mereka juga bakal diuntungkan? Apapun jawabannya, yang pasti mereka samasekali tidak mendapatkan manfaat dan keuntungan dari setiap batang rokok yang mereka hisap—yang justru kian memiskinkan mereka itu.

Data BPS: Pengemis Tua, Kok Gak Miskin?


Diketahui, untuk menghitung jumlah orang miskin di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (makanan dan non makanan). Dalam prakteknya, nilai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang-agar tidak terkategori miskin-dinyatakan dalam jumlah rupiah tertentu yang kemudian disebut garis kemiskinan (GK). Orang dikatakan miskin jika dalam sebulan pengeluarannya lebih kecil dari nilai GK.
Kelemahan mendasar metode ini adalah defenisi kemiskinan yang sejatinya luas dan multidimensi tereduksi hanya pada dimensi ekonomi saja. Maklum, tidak semua dimensi yang menjelaskan kemiskinan (sebagian besar kualitatif) dapat diukur secara statistik/kuantitatif. Padahal, di sisi lain pemerintah sangat membutuhkan statistik kemiskinan sebagai dasar pijakan perumusan dan alat evaluasi berbagai kebijakan anti kemiskinan. Dengan metode yang digunakan BPS selama ini, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi meskipun tidak didasarkan pada metode yang  mampu mengakomodir semua dimensi kemiskinan.
Pada September 2011, GK yang digunakan BPS untuk menghitung jumlah orang miskin sebesar Rp263.594 di perkotaan dan Rp223.181 di perdesaan. Itu artinya, menurut BPS, di perkotaan, Si Miskin adalah orang yang pengeluaran perbulannya kurang dari  Rp263.594, sementara di perdesaan, Si Miskin adalah orang yang pengeluaran perbulannya kurang dari  Rp263.594. Dengan nilai GK sebesar itu diperoleh: jumlah orang miskin di perkotaan sebesar 10,95 juta orang dan di perdesaan sebesar 29,89 juta orang.
Bagi sebagian orang, bahkan banyak orang, nilai GK yang digunakan BPS di atas terlalu kecil dan kurang realistis. Tidak jarang, dengan nilai GK yang dianggap terlalu kecil itu, yang sejatinya didasarkan pada sebuah metode baku, BPS dituduh dengan sengaja ‘mempermainkan’ nilai GK sehingga diperoleh angka kemiskinan yang sesuai dengan kehendak  pemerintah, dalam perkataan lain angka kemiskinan telah dipolitisasi. BPS pun menjadi sasaran berbagai tuduhan miring  dari khalayak, misalnya, ABS (asal bapak senang), tak lagi independen, dan alat penguasa.
Argumen pengemis tua
Salah satu argumen yang nampaknya cukup kuat untuk mempersoalkan realistis atau tidaknya GK yang digunakan BPS dalam menetapkan siapa Si Miskin adalah apa yang saya sebut “argumen pengemis tua.”Argumen ini dapat dijelaskan melalui ilustrasi berikut:

Misalkan, Sarima (55  tahun) adalah seorang pengemis tua yang sehari-hari menjalankan profesinya sebagai peminta-minta di jembatan penyebrangan menuju halte bus Transjakarta Bidaracina, Jakarta Timur. Setiap harinya, secara rata-rata, dia bisa memperoleh uang sebesar Rp20.000 dari hasil meminta-minta. Itu artinya, dalam sebulan, total pendapatan Sarima dari hasil meminta-minta sebesar Rp600.000 (asumsi: satu bulan ada 30 hari).
Jika menggunakan GK sebesar  Rp263.594, itu artinya, Sarima, Si Pengemis Tua, yang sehari-hari berpakaian compang-camping, tampak lusuh, dan tinggal di sebuah gubuk reyot di bantaran Kali Ciliwung tidak dianggap miskin menurut konsep BPS. Tentu, ini sangat tidak realistis dan betul-betul bertentangan dengan akal sehat. Dengan demikian, dari kasus ini terbukti sudah, GK yang digunakan BPS memang tidak realistis.
Tapi, tunggu dulu. Terlalu terburu-buru sebetulnya menyimpulkan GK yang digunakan BPS tidak realistis berdasarkan kasus di atas tanpa melakukan penelaahan lebih jauh.
Selama ini, penghitungan jumlah orang miskin yang dilakukan BPS didasarkan pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Survei ini mencatat pengeluaran (makanan dan non makanan) sebanyak 68.800 sampel rumah tangga di seluruh Indonesia.
Misalkan, keluarga Sarima yang terdiri dari 3 anggota rumah tangga (Sarima tinggal bersama isterinya Hariswati dan anaknya Anwar) terpilih sebagai sampel SUSENAS. Jika hasil meminta-minta Sarima merupakan satu-satunya sumber pendapatan dalam keluarganya, maka setiap bulan hanya akan ada sekitar Rp600.000 uang yang dikeluarkan dalam keluarga tersebut. Dengan demikian, pegeluaran per bulan keluarga Sarima yang tercatat dalam SUSENAS juga sekitar Rp600.000 (asumsi: semua pendapatan Sarima habis dipakai untuk konsumsi dan tidak ada yang ditabung). Dengan lain perkataan, pengeluaran per kapita per bulan setiap anggota keluarga  Sarima adalah sebesar Rp200.000 (note; pendekatan yang digunakan dalam SUSENAS dalah rumah tangga, bukan individu). Itu artinya, semua anggota keluarga Sarima (termasuk Sarima Si Pengemis Tua) dianggap miskin berdasarkan hasil SUSENAS karena berpengeluaran kurang dari Rp263.594 per bulan.
Permisalan lain, dengan nilai GK sebesar Rp263.594, sebuah keluarga di perkotaan dengan empat orang anggota akan terkategori miskin (setiap anggota) jika pengeluaran (bisa bersumber dari pendapatan salah satu atau lebih anggota rumah tangga) per bulan keluarga tersebut kurang dari Rp1.054.376 per bulan.
Berdasarkan dua permisalan ini, realistiskah GK yang digunakan BPS selama ini? Silahkan Anda menyimpulkan sendiri. Dan, apapun kesimpulan Anda, saya sarankan untuk berhati-hati dan tak gampang percaya dengan pengemis tua –apalagi muda–karena banyak di antara mereka sejatinya berpunya dan tak layak disebut miskin. Punya Blackbary dan sering makan di KFC, misalnya. (*)

1 komentar:

  1. Pokermulia.NET |
    KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda dan mendapatkan jackpotnya ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
    • Ceme
    • Ceme Keliling
    • Capsa
    • Domino
    • Poker
    • Superten
    • omaha
    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +85593842699
    • BB : D3F98F26
    • line : POKERMULIA
    Come & Join Us

    BalasHapus