Harga BBM dan Jumlah Si Miskin
Sejak era Orde Baru hingga
kini, catatan pengentasan kemiskinan di Indonesia sebetulnya cukup mengesankan,
terekam oleh data statistik yang ada. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan, sepanjang periode 1976-2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia
secara umum terus menurun secara konsisten.
BPS mencatat, pada tahun
1976, jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta orang atau sekitar 40 persen
dari total penduduk saat itu. Bandingkan dengan kondisi dewasa ini! Pada
September 2011 lalu, misalnya, jumlah penduduk miskin menurut laporan BPS
mencapai 29,89 juta orang atau sekitar 12,36 persen dari total penduduk
Indonesia. Itu artinya, dalam kurun waktu 35 tahun, ada sekitar 24 juta orang
yang berhasil dientaskan dari kemiskinan. Catatan yang sudah barang tentu
sangat mengesankan.
Inflasi dan jumlah Si
Miskin
Sepanjang periode
1976-2011, BPS mencatat, tren penurunan jumlah penduduk miskin hanya dua kali
terkoreksi, yakni pada tahun 1998 dan tahun 2006. Di tahun 1998, jumlah
penduduk miskin melonjak drastis sebagai akibat badai krisis ekonomi yang
menghempaskan perekonomian nasional ke titik nadir.
Kala itu, perekonomian
nasional mengalami kontraksi dan collepse.
Pertumbuhan ekonomi terkoreksi sangat dalam hingga menembus angka -13,4 persen.
Kondisi perekonomian kian mengkhawatirkan karena meroketnya harga barang-barang
kebutuhan pokok. Inflasi pun menembus angka 77,63 persen.
Alhasil, krisis tahun
1998 betul-betul memukul telak daya beli sebagain besar penduduk negeri ini,
khususnya kelompok menengah ke bawah. Kondisi ini mengakibatkan penduduk miskin
kian bertambah miskin dan banyak penduduk hampir miskin akhirnya jatuh miskin.
BPS mencatat, pada tahun
1998, jumlah penduduk miskin mencapair 48,99 juta orang (24,23 persen),
mengalami lonjokan sekitar 15 juta orang dibandingkan dengan tahun 1996. Apa
yang terjadi di tahun 1998 tidak jauh berbeda dengan kondisi kemiskinan pada tahun
1978. Dengan lain perkataan, krisis tahun 1998 telah menjadikan capaian
pengentasan kemiskinan mengalami kemunduran sejauh dua dekade. Pasca krisis
tahun 1998, jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, dengan laju
penurunan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan periode sebelum krisis.
Lonjakan jumlah penduduk
miskin kembali terjadi untuk kedua kalinya pada tahun 2006. Kali ini, pemicunya
adalah kebijikan pemerintah yang tidak populis, yakni keputusan untuk menaikkan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai respon terhadap naiknya harga minyak
dunia pada tahun 2005.
Kebijakan tidak populis
itu memacu inflasi hingga menembus angka 17,11 persen pada tahun 2005.
Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, terutama beras. Padahal, sebagian besar
pendapatan penduduk kelompok menengah ke bawah dialokasikan untuk membeli
beras. Selain itu, kontribusi komoditas ini terhadap pembentukan garis
kemiskinan BPS sangat dominan, pada September 2011 lalu, misalnya, mencapai
26,6 persen di perkotaan dan 33,7 persen di perdesaan (BPS, 2012). Alhasil,
seperti halnya krisis tahun 1998, kenaikan harga BBM pada tahun 2005 juga
memukul telak daya beli penduduk miskin dan hampir miskin sehingga berujung
pada lonjakan jumlah penduduk miskin.
BPS mencatat, pada tahun
2006, jumlah penduduk miskin mencapai 39,30 juta orang (17,75), mengalami
lonjakan sebesar 4,2 juta orang dari tahun 2005. Untungnya, kala itu,
pemerintah cukup sigap dalam menjaga daya beli penduduk miskin dan hampir
miskin dari gempuran inflasi dengan menggelentorkan dana Bantuan Langsung Tunia
(BLT) sebagai bentuk kompensasi kepada sekitar 19,1 juta rumah tangga miskin
dan hampir miskin yang diperkirakan terkena dampak kenaikan harga BBM. Terlepas
dari segala kekurangannya, tanpa program bantuan tunai (cash transfer) seperti itu, dapat dipastikan,
lonjakan jumlah penduduk miskin akan lebih besar lagi.
Pengalaman pada tahun
1998 dan 2006 menunjukkan kepada kita bahwa inflasi sangat bertalian erat
dengan perubahan jumlah penduduk miskin. Shock yang terjadi pada variabel
ini dapat memicu lonjakan penduduk miskin.
Daya beli harus dijaga
Selama ini, BPS
menggunakan pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need
approach) yang dikuantifikasi ke dalam nominal rupiah tetentu (garis
kemiskinan) ketika menghitung
jumlah penduduk miskin. Dengan
metode seperti ini, perubahan jumlah penduduk miskin pada dasarnya hanya
dipengaruhi oleh dua hal: pendapatan masyarakat dan pergerakan nilai garis
kemiskinan (harga-harga kebutuhan dasar). Jumlah penduduk miskin dipastikan
bakal naik jika peningkatan pendapatan masyarakat tidak mampu mengimbangi laju
kenaikan nilai garis kemiskinan yang digerakan oleh inflasi. Pada kondisi ini,
daya beli masyarakat jatuh. Dan inilah sebetulnya yang terjadi pada tahun 1998
dan tahun 2006 silam.
Apa yang terjadi pada
tahun 2006 sebetulnya sangat erat kaitannya dengan kenyataan bahwa salah satu
karakteristik persoalan kemiskinan di Indonesia adalah tingginya jumlah
penduduk hampir miskin (near poor), yakni mereka yang menurut BPS memiliki
nilai pengeluaran tidak lebih dari 20 persen di atas garis kemiskinan. Pada
September 2011 lalu, misalnya, jumlah mereka telah mencapai 27,82 juta orang
atau sekitar 11,5 persen dari total penduduk Indonesia (BPS, 2011).
Sehari-hari, kondisi kesejahteraan─daya beli─mereka
sejatinya tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin, bahkan mungkin sama.
Karenanya, mereka sangat rentan untuk jatuh miskin jika terjadi gejolak ekonomi
yang memukul telak daya beli mereka, inflasi yang tinggi, misalnya.
Karena itu, setiap
kebijakan pemerintah yang berujung pada naiknya angka inflasi harus dibarengi
dengan kecermatan mengenai dampaknya terhadap lonjakan penduduk miskin,
termasuk kebijakan untuk menaikkan harga BBM yang akan mulai diterapkan pada 1
April 2012 nanti. Pemerintah harus betul-betul menjamin bahwa ekses inflasi
yang terjadi dapat dikelola dengan baik. Daya beli penduduk miskin dan hampir
miskin juga harus dijaga. Untuk itu, program cash
transfer seperti halnya BLT
perlu dilakukan oleh pemerintah, tentunya dengan sejumlah penyempurnaan: varian
jenis kompensasi yang diberikan harus diperlus dan lebih tepat sasaran. Jika
tidak, dapat dipastikan, Si Miskin akan semakin miskin, dan jumlahnya akan
melonjak. (*)
Koreksi Terhadap Pemberitaan Kompas.com
“Data (yang benar)
mencerdaskan bangsa.” (Motto: Badan Pusat Statistik)
Pada Kamis (25/08/2011),
KOMPAS.com memberitakan laporan yang dirilis oleh Asian Development Bank (ADB)
tentang perkembangan kondisi kemiskinan Indonesia saat ini yang lebih buruk
dibanding lima tahun lalu. Selengkapnya, isi berita yang dimaksud dapat Anda
baca pada tautan berikut ADB:
Penduduk Miskin Indonesia Bertambah. Terlepas berita ini bersumber dari
kantor berita AFP, menurut saya ada dua hal yang janggal dan perlu dikoreksi.
Defenisi dan metode
pengukuran kemiskinan
Sebelum membahas
kejanggalan yang saya maksudkan, sangat penting bagi kita memahami terlebih
dahulu defenisi kemiskinan dan bagaimana angka-angka kemiskinan itu diperoleh.
Secara umum, kemiskinan
didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu
memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Defenisi ini menjukkan makna kemiskinan sangat laus dan
multidimensi, serta tidak mudah untuk mengukurnya. Contohnya, apa yang dimaksud
dengan kehidupan yang bermartabat? Setiap orang tentu akan
menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang
perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapa dikuantifikasi,
seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Karenanya, hingga saat
ini, tak ada satupun metode yang sempurna dalam memotret kemiskinan. Selama
ini, pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan metode statistik−metode
kuantitatif−yang banyak memiliki keterbatasan, karena tidak semua variable yang
ingin diukur dapat dikuantifikasi.
Salah satu konsep
pengukuran kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk
Indonesia,adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan
konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna
karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Di Indonesia, pengukuran
kemiskinan dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun di bulan
Maret. Dengan demikian, angka kemiskinan yang dimumkan oleh BPS sebenarnya
adalah kondisi Maret, setelah Maret kondisi kemiskinan pasti berubah karena
kemiskinan pada dasarnya bersifat dinamis.
Dalam prakteknya,
pengukuran kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar menggunakan garis
kemiskinan (GK) atau batas kemiskinan absolut sebagai instrument untuk
menentukan miskin tidaknya seseorang. GK dapat dipandang sebagai jumlah rupiah
minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
(setara dengan 2.100 kkal per hari) dan non-makanan (sandang, pangan,
perumahan, dan kesehatan).
Untuk menghitung GK dan
jumlah penduduk miskin, BPS melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
Survei ini bertujuan untuk mendapatkan data pengeluaran konsumsi
rumah tangga dengan mencacah sekitar 68 ribu sampel rumah tangga yang
tersebar di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua. Karena didasarkan pada
data survei, angka kemiskinan yang dihasilkan adalah estimasi atau perkiraan.
Bank Dunia juga
menggunakan data ini untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Konsep
yang digunakan oleh Bank Dunia pada dasarnya sama dengan yang digunakan
oleh BPS, yang membedakan keduanya hanyalah GK yang digunakan. GK yang
digunakan oleh Bank Dunia dalam dollar PPP (purchasing power parity/paritas daya
beli). Dalam prakteknya, ada dua ukuran yang digunakan, yakni 1,25 dollar dan 2
dollar. Dollar PPP atau biasa disebut dollar internasional tidak sama dengan
dollarcurrency (dollar
AS). Jika dirupiahkan, nilai dollar PPP selalu lebih rendah dibanding dollar
AS. Penjelasan mengenai dollar PPP dapat Anda baca pada tautan berikut
Penggunaan GK dalam
dollar PPP oleh Bank Dunia erat kaitannya dengan evaluasi pencapaian
target Millenium
Development Goals (MDGs), yang salah satu sasarannya adalah
mengurangi angka kemiskinan dunia hingga tinggal setengahnya pada tahun 2015.
Karena Bank Dunia membutuhkan data kemiskinan yang comparable (dapat
diperbandingkan) antar negara, maka digunakanlah GK dalam dollar internasional
atau dollar PPP.
Kesamaan konsep dan
sumber data yang digunakan BPS dan Bank Dunia dalam pengukuran kemiskinan
mengakibatkan pergerakan angka kemiskinan hasil hitung-hitungan Bank Dunia
selalu sejalan dengan hasil hitungan BPS−walaupun jumlah atau persentase
penduduk miskinnya berbeda. Jika hasil hitungan BPS menunjukkan bahwa pada
tahun 2011 jumlah penduduk miskin turun, maka hasil hitungan Bank Dunia
juga akan menunjukkan hal yang sama.
****
Kekeliruan KOMPAS.com
Sebagaimana telah saya
nyatakan sebelumnya, ada dua hal yang janggal dan perlu dikoreksi dari
pemberitaan KOMPAS.Com yang bertajuk “ADB:
Penduduk Miskin Indonesia Bertambah”. Kejanggalan pertama terdapat
pada redaksi berikut
”Untuk
diketahui, standar kemiskinan yang digunakan ADB adalah penghasilan di
bawah 1,25 dollar AS per hari (sekitar Rp 10.625).”
Sebelumnya, telah saya
sebutkan bahwa GK yang digunakan Bank Dunia adalah dalam dollar PPP bukan
dollar currency (dollar
AS). Kalimat di atas jelas keliru, karena GK yang digunakan oleh ADB seharusnya
adalah 1,25 dollar PPP bukan 1,25 dollar AS. Jika Anda membaca publikasi ADB
terbaru yang berjudul “
KEY INDICATORS FOR ASIA AND THE PASIFIC 2011”, pada halaman
147 Anda akan menemukan kalau GK yang digunakan oleh ADB dalam dollar PPP bukan
dollar AS. Dan memang seperti itulah seharusnya, karena GK internasional
ditujukan untuk komparasi antar negara. Jika menggunakan dollar AS, syarat
perbandingan aple to
aple tidak terpenuhi karena daya beli (purchasing power) dollar
AS tidak sama pada setiap negera.
Sebagai ilustrasi, untuk
membandingkan kinerja perekonomian antar negara, Bank Dunia dan lembaga-lembaga
internasional lainnya, tremasuk ADB, selalu menggunakan Gorss Domestic Product (GDP)
dalam dollar PPP dan GDP dalam dollar AS. Menurut data Bank Dunia, pada tahun
2010, GDP PPP (current
price international $) Indonesia mencapai 1.029,79 juta
dollar PPP, dan jika menggunakan dollar AS (current price US$) GDP Indonesia
mencapai 706,56 juta dollar AS. Sementara itu, berdasarkan data BPS, GDP
Indonesia atas dasar harga berlaku (current
price) pada tahun 2010 sebesar Rp 6.422,9 triliun. Jika dicermati,
di sini nampak jelas bahwa dollar PPP memang berbeda dengan dollar AS.
Berdasarkan angka-angka
GDP Indonesia dalam dollar PPP dan dollar AS versi Bank Dunia, serta versi
BPS (dalam rupiah), jika dilakukan konversi ke dalam rupiah, pada tahun 2010, 1
dollar PPP setara dengan sekitar Rp 6.255, sedangkan 1 dollar AS setara dengan
sekitar Rp 9.075 (kurs dollar saat itu). Di sini terlihat jelas jika
dirupiahkan, nilai 1 dollar PPP jauh lebih rendah dari 1 dollar AS.
Dengan demikian, jika
dirupiahkan, garis kemiskinan ADB sebesar 1,25 dollar PPP bukan sekitar Rp
10.625, karena nominal ini diperoleh melalui hasil perkalian 1,25 dollar
dengan kurs rupiah terhadap dollar saat ini. Dan menurut saya, hal ini
adalah murni kekeliruan KOMPAS.Com dalam memberitakan laporan ADB (AFP). Saya
yakin, baik ADB maupun AFP sama sekali tidak menyebutkan bahwa GK yang
digunakan adalah dalam dollar AS.
Konversi GK yang keliru
ini, ternyata dikutip oleh seorang kompasianer dalam tulisannya yang berjudul “Puluhan Triliun Rupiah Jelang Lebaran, Jurang Pun Makin
Lebar “. Bahkan, dalam tulisan tersebut, penulis telah
maju selangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa GK yang digunakan ADB sebesar
Rp 318.750 per bulan. Angka ini diperoleh setelah mengalikan Rp 10.625 dengan
30, karena penulis berasumsi jumlah rata-rata hari dalam sebulan adalah 30
hari.
Orang yang tidak paham
seluk beluk penghitungan angka kemiskinan tidak akan melihat hal ini sebagai
kekeliruan yang vatal, bahkan mungkin akan mengamini isi tulisan tersebut. Dan
inilah yang terjadi pada admin Kompasiana ketika menjadikan tulisan tersebut
sebagai headline beberapa
waktu yang lalu. Tetapi, bagi mereka yang paham seluk beluk penghitungan angka
kemiskinan tentu tahu bahwa kekeliruan seperti ini sangat vatal.
Sepintas, perbedaan
antara Rp 233.740 (GK BPS) dengan Rp 318.750 memang tidak
terlalu jauh. Tetapi implikasinya terhadap angka kemiskinan yang dihasilkan
akan sangat berbeda. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin
dan hampir miskin Indonesia, yakni mereka yang memiliki pengeluaran per kapita
per bulan di bawah Rp 280.488, mencapai 57,14 juta orang atau
sekitar 24 persen dari total populasi Indonesia. Dengan melihat angka ini,
proporsi penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 318.750
tentu akan lebih besar lagi−kemungkinan di atas 30 persen dari total
populasi−padahal, pada tahun 2009 saja, berdasarkan data Bank Dunia, jika
menggunakan GK sebesar 1,25 dollar PPP, proporsi penduduk miskin Indonesia
hanya sebesar 18,7 persen. Ini artinya, GK sebesar Rp 318.750 jauh dari setara
dengan 1,25 dollar PPP.
****
Kejanggalan kedua
terdapat pada redaksi berikut
“Jumlah penduduk miskin
di Indonesia… bertambah dibanding lima tahun lalu. Ini mungkin disebabkan
pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan meningkatkan Gross
Domestic Product (GDP) dan atau disebabkan semakin luasnya kesenjangan sosial,”
kata studi yang dilakukan ADB itu.
Saya ragu kalau kutipan
di atas meruapakn hasil studi yang dilakukan ADB. Karena, jika demikian, hasil
studi ADB akan sangat bertentangan dengan data kemiskinan yang dimiliki
oleh BPS dan Bank Dunia. Berdasarkan data kedua institusi ini, selama lima
tahun terkahir perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia justru sebaliknya,
yakni secara umum menunjukkan tren yang menurun. Jika Anda tidak percaya,
silahkan kunjungi tautun berikut
Hasil studi ADB tidak
akan mungkin berseberangan dengan data-data kemiskinan BPS dan Bank Dunia.
Karena untuk menghitung angka kemiskinan makro yang dapat dipercaya
kevalidannya, ADB memerlukan basis data pengeluaran konsumsi rumah tangga. Dan
untuk Indonesia, satu-satunya basis data konsumsi rumah tangga yang ada adalah
data SUSENAS yang dihasilkan oleh BPS, yang juga digunakan oleh Bank Dunia
ketika menghitung angka kemiskinan di Indonesia.
Indikator kemiskinan
makro yang secara internasional umum digunakan adalah Foster-Greer-Thorbecke
(FGT) index. FGT index memiliki 3 ukuran kemiskinan, yakni persentase penduduk
miskin (P0), tingkat kedalaman kemiskinan (P1) yang
menggambarkan rata-rata selisih pengeluaran penduduk miskin terhadap GK, dan
tingkat keparahan kemiskinan (P2) yang menggambarkan ketimpangan distribusi
pendapatan penduduk miskin. Kemungkinan yang diamaksudkan oleh ADB dalam
laporannya adalah perkembangan tingkat kedalaman dan atau tingkat keparahan
kemiskinan saat ini yang semakin memburuk dibanding lima tahun yang lalu, bukan
persentase atau jumlah penduduk miskin yang bertambah.
****
Kekeliruan yang terjadi
pada pemberitaan di KOMPAS.com menunjukkan bahwa kehati-hatian dan kecermatan
ketika menggunakan dan melaporkan angka-angka statistik adalah soal yang amat
penting. Karena, interpretasi terhadap angka-angka statistik yang keliru
akan menghasilkan pemahaman yang bias dan menyesatkan.
Interpretasi terhadap
angka-angka statistik yang keliru memang sering terjadi pada kalangan elite
negeri ini. Contohnya, para tokoh lintas agama yang menuduh pemerintah
berbohong kepada publik soal data kemiskinan. Oleh mereka, pemerintah
dianggap berbohong karena data jumlah penduduk miskinpada tahun 2010 yang
mencapai 31,02 juta orang tidak konsisten dengan data jumlah penduduk
penerima beras miskin (raskin) yang mencapai 70 juta orang.
Tuduhan di atas
sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan
data-data BPS, sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka
kemiskinan yang berbeda. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, data jumlah
penduduk penerima raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga
penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS pada survei Pendataan
Program perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008, jumlah rumah tangga sasaran
(RTS) yang layak menerima raskin mencapai 17,5 juta rumah tangga. RTS mencakup
rumah tangga miskin dan hampir miskin. Sehingga, dengan asumsi kasar bahwa
setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang
akan menerima raskin.
Anda tentu sepakat dengan
saya, kalau pemfitnah tidak jauh berbeda dengan pembohong, keduanya adalah
setali tiga uang.
****
Sumber tulisan
KOMPAS.Com, Wikipedia, Data dan Informasi Kemiskinan (BPS, buku), KEY INDICATORS FOR ASIA AND THE
PASIFIC 2011, 48th Edition, ADB, August 2011. Data-data
bersumber dari World Bank, dan BPS
Menyoal Garis Kemiskinan BPS
Hari ini, Minggu
(10/9/2011) pukul 13.47 WIB, KOMPAS.com menurunkan berita mengenai usulan untuk
merevisi garis kemiskinan (GK) yang selama ini digunakan oleh Pemerintah−Badan
Pusat Statistik (BPS)-dalam menghitung jumlah orang miskin di Indonesia.
Selangkapnya, berita tersebut dapat Anda baca pada tautan berikut
Dalam berita tersebut
dinyatakan bahwa Komisi XI DPR akan mengarahkan pemerintah agar mengubah GK
yang saat ini ditetapkan setara dengan penghasilan Rp 230.000 per orang dalam
sebulan.
GK yang ada saat ini dinggap salah kaprah karena mengabaikan mereka yang memiliki penghasilan sedikit di atas Rp 230.000 per bulan atau Rp 9.000 ribu perhari, padahal seorang pengemis saja sekarang ini bisa mengumpulkan lebih dari Rp 10.000 ribu per hari−kenyataannya memang banyak pengemis yang kaya, mereka pura-pura miskin dengan menjadi pengemis.
Lebih lanjut dalam berita
tersebut dinyatakan Komisi XI DPR akan mendorong pemerintah untuk
memasukkan satu pasal khusus dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN 2012
yang menekankan bahwa anggaran yang dialokasikan pada APBN 2012 adalah untuk
mengatasi kemiskinan dengan target tertentu. Pasal itu juga harus menegaskan
bahwa target pengentasan rakyat dari kemiskinan tersebut didasarkan atas garis
kemiskinan yang baru.
Sebelum menanggapi isi
berita tersebut, ada baiknya kita semua mengetahui dan memahami terlebih dahulu
defenisi kemiskinan serta bagaimana GK dan angka kemiskinan itu
dihitung oleh BPS.
Defenisi kemiskinan
Secara umum, kemiskinan
didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu
memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Defenisi ini menjukkan makna kemiskinan sangat laus dan
multidimensi, serta tidak mudah untuk mengukurnya. Contohnya, apa yang dimaksud
dengan kehidupan yang bermartabat? Setiap orang tentu akan
menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang
perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapa dikuantifikasi,
seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial-politik.
Karenanya, hingga saat ini tak ada satupun metode yang sempurna dalam memotret kemiskinan. Selama ini, pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan metode statistik−metode kuantitatif−yang banyak memiliki keterbatasan, karena tidak semua variable yang ingin diukur dapat dikuantifikasi.
Salah satu konsep
pengukuran kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk
Indonesia,adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan
konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna
karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Di Indonesia, pengukuran
kemiskinan dilakukan oleh BPS setiap tahun di bulan Maret. Dengan demikian,
angka kemiskinan yang dimumkan oleh BPS sebenarnya adalah kondisi Maret,
setelah Maret kondisi kemiskinan pasti berubah karena kemiskinan pada dasarnya
bersifat dinamis.
Dalam prakteknya,
pengukuran kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar menggunakan GK atau
batas kemiskinan absolut sebagai instrument untuk menentukan miskin tidaknya
seseorang. GK dapat dipandang sebagai jumlah rupiah minimum yang diperlukan
oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Penduduk dengan pengeluaraan per kapita per bulan lebih kecil dari GK
selanjutnya disebut miskin.
Mengenal lebih dekat
metode penghitungan GK
Sebagaimana telah saya
sebutkan sebelumnya, GK merupakan jumlah rupiah minimum yang diperlukan
oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan.
Karenanya, GK terdiri dari dua komponen yaitu GK Makanan (GKM) dan GK Non
Makanan (KGNM).
GKM merupakan nilai
pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal per
kapita per hari. Dengan mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun
1978, jumlah kalori sebesar ini merupakan jumlah kalori minimum yang diperlukan
oleh seseorang untuk bisa beraktivitas secara normal, bekerja untuk memperoleh
pendapatan. Selanjutnya, paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili
oleh 52 jenis komoditi, yakni padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan
susu, dll.
Sementara itu, GKNM
merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makananan
diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di
perdesaan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan
dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola
konsumsi penduduk.
GK merupakan hasil
penjumlahan GKM dan GKNM yang dihitung secara terpisah untuk daerah
perkotaan dan perdesaan pada masing-masing provinsi−jika ukuran sample
memungkinkan, maka penghitungan GK juga dapat dilakukan sampai tingkat
kabupaten/kota. GK sebesar Rp 233.740 pada tahun 2011 merupakan rata-rata
nasional dari 33 provinsi untuk daerah perkotaan dan perdesaan.
Penghitungan GK
didasarkan pada database pengeluaran
konsumsi dari 68.000 sampel rumah tangga di seluruh Indonesia yang diperoleh
dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). SUSENAS ditujukan untuk
menangkap pola konsumsi rumah tangga di seluruh Indonesia. Dari survei ini
diperoleh secara rinci alokasi pengeluaran konsumsi rumah tangga atas kebutuhan
makanan dan non makanan setiap bulannya, yang apa bila dirinci akan mencakup
lebih dari 500 item pengeluaran. Dengan demikian, dari data SUSENAS akan
diperoleh nilai pengeluaran konsumsi komoditi makanan dan non makanan
yang digunakan dalam penghitungan GK. Karena dihitung berdasarkan data survei,
angka kemiskinan yang dihasilkan pada dasarnya hanyalah estimasi.
Sebelum GK dihitung,
terlebih dahulu ditentukan kelompok reference
population, yaitu 20 persen penduduk yang nilai pengeluarannya
berada di atas garis kemiskinan sementara (GKS). Kelompok ini disebut penduduk
kelas marjinal atau dalam bahasa awan disebut penduduk hampir miskin. Dari
kelompok penduduk ini kemudian dihitung GKM dan GKNM. Dengan lain perktaan,
pada dasarnya GK merupakan nilai pengeluaran penduduk kelas marjinal untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya−makanan dan non makanan.
GKS dihitung berdasarkan
GK periode sebelumnya yang di-inflate atau
digerakkan dengan inflasi umum. Itulah sebabnya, dari tahun ke tahun nilai
nominal GK terus minangkat mengikuti pergerakan inflasi. Dan hal ini sekaligus
membantah tuduhan dari sebagian orang bahwa selama ini BPS merekayasa angka
kemiskinan dengan menurunkan nilai GK yang digunakan agar angka kemiskinan
turun.
Selanjutnya, berdasarkan
data SUSENAS, penduduk dengan pengeluaran per kapita perbulan di bawah garis
kemiskinan disebut miskin. Terus, apakah mereka yang memiliki pengeluaran per
kapita per bulan sedikit di atas GK lantas disebut kaya? Jawabannya adalah “tidak”.
Mereka tidak kaya, tetapi hampir miskin.
Kata hampir secara
kuantitatif menunjukkan bahwa pengeluaran mereka berbeda tipas dengan penduduk
miskin dan tidak signifikan dalam membedakan tingkat kesejahteraan mereka
dengan penduduk miskin. Sehari-hari, kondisi kesejahteraan mereka dibanding
penduduk miskin mungkin tidak jauh berbeda, bahkan sama−defenisi hampir miskin
dapat diubah sesuai kebijakan suatu negara. Dan inilah kelemahan dari
pengukuran kemiskinan dengan menggunakan GK atau batas kemiskinanobsolute.
Bukanhanya di Indonesia, di negara mana pun juga seperti ini. Untuk lebih
jelasnya, berdasarkan data tahun 2011, berikut adalah ilustrasinya :
[Picture Under Constructed]
Berdasrakan peraga di
atas, terlihat jelah bahwa penduduk miskin adalah mereka yang memiliki
pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp 233.470 atau sekitar Rp 7782
rupiah per hari. Pada Maret 2011, jumlahnya sebesar 30.02 juta orang. Adapun
penduduk hampir miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per
bulan antara Rp 233.470 - Rp 280.488. Atau dengan lain perkataan, selisih
nilai pengeluaran mereka dengan GK tidak lebih dari 20 persen. Dan pada
Maret 2011, jumlah mereka mencapai 27,12 juta orang.
Jika diperluas, maka
diperoleh kelompok penduduk hampir tidak miskin dan penduduk tidak miskin.
Penduduk hampir tidak miskin adalah mereka dengan nilai pengeluaran per kapita
per bulan antara Rp 280.488- Rp 350.160. Adapun, penduduk tidak miskin adalah
mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih dari Rp
350.160 atau sekitar Rp 12.000 per hari. Atau dengan lain perkataan,
selisih nilai pengeluaran mereka dengan GK lebih dari 50 persen.
Catatan penting
Penting untuk
diperhatikan bahwa pendekatan yang digunakan ketika menghitung angka kemsikinan
adalah pengeluaran, bukan penghasilan. Dua hal ini tentu berbeda, karena
penghasilan biasanya dihasilkan oleh satu kepala keluarga, tetapi
dikeluarkan kepada seluruh anggota keluarganya.
Dengan demikian, jika
satu keluarga beranggotakan empat orang, maka keluarga yang dianggap miskin
adalah keluarga yang hanya berpengeluaran di bawah Rp. 934.960/keluarga/bulan
atau setara dengan Rp 31.165/keluarga/hari . Dan keluarga tidak miskin adalah
keluarga dengan pengeluaran di atas Rp 1.400.000/keluarga/bulan atau setara
dengan Rp 46.667/keluarga/hari.
Dengan melihat angka-angka di atas, nampak jelas bahwa GK yang digunakan oleh BPS sangat rasional dan telah sesuai dengan realitas kondisi ekonomi penduduk Indonesia saat ini. Kita tidak bisa membantah sesuatu yang dihasilkan melalui suatu metodologi yang didesain secara ilmiah untuk mewikili populasi, yakni seluruh penduduk Indonesia yang tersebar di 33 provinsi baik itu di perdesaan maupun perkotaan, dengan menggunakan penarikan kesimpulan secara parsial, yakni berdasarkan apa yang kita saksikan di kanan-kiri lingkungan tempat tinggal kita yang kemudian kita anggap sebagai realitas populasi. Anda yang tinggal di perkotaan mungkin tidak tahu bahwa data statistik hasil sensus penduduk menunjukkan sekitar 50 persen penduduk Indonesia hidup di daerah perdesaan. Dan sebuah keluarga dengan pengeluaran Rp 30.000/hari di daerah perdesaan sangat tidak pantas untuk disebut miskin.
Jika ditelaah lebih jauh lagi, nilai Rp. 934.960 akan sesuai dengan rata-rata batas upah minimum di Indonesia, bahkan lebih tinggi dari upah minimum beberapa provinsi di Indonesia. Dan suatu keluarga dengan kepala keluarga seorang pengemis berpenghasilan Rp 10.000 per hari dapat dipastikan bakal sulit memiliki penghasilan di atas Rp. 934.960 per bulan.
Selain itu, penting pula
untuk diperhatikan bahwa data kemiskinan yang dihasilkan dengan menggunakan GK
adalah data kemiskinan makro. Data ini hanya dapat digunakan untuk melihat
perkembangan jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu beserta
karakteristiknya sehingga perencanaan penurunan tingkat kemiskinan dapat
dikaitkan dengan perencanaan pembangunan dalam bidang lainnya seperti
perencanaan tingkat pertumbuhan, investasi, dan peningkatan kesempatan kerja,
serta untuk mengevaluasi kebarhasilan program-progran anti kemiskinan yang
telah dilakukan oleh pemerintah dari waktu ke waktu.
Untuk program-program
anti kemiskinan yang sifatnya target sasaran−jaring-jaring pengaman sosial,
seperti raskin, PKH, Jamkesmas, dll−data kemiskinan makro tidak dapat
digunakan, karena hanya mampu menggambarkan jumlah dan persentase penduduk
miskin beserta karakteristiknya. Data ini tidak bisa menjawab pertanyaan, siapa
si miskin dan dimana alamatnya? Karenanya, untuk program-program anti
kemiskinan yang sifatnya target sasaran dibutuhkan data kemiskinan mikro yang
memuat informasi tentang siapa si miskin dan di mana alamatanya (direktori
rumah tangga msikin).
Data kemiskinan mikro
dihasilkan melalui metode yang berbeda dengan data kemiskinan makro yang
menggunakan GK. Pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada
ciri-ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa cepat dan hemat biaya.
Sampai saat ini baru tiga kali BPS mengumpulkan data kemiskinan mikro: Oktober
2005, September 2008, dan Juli 2011−yang masih sementara berjalan.
Data yang diperoleh disebut data rumah tangga sasaran (RTS) dan mencakup bukan hanya rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.Jumlah RTS hasil pendataan September 2008 adalah 17,5 juta. Dengan asumsi kasar rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang, diperoleh angka 70 juta jiwa penduduk miskin dan hampir miskin.
Tanggapan atas usulan
untuk merevisi GK
Usulan Komisi XI DPR
untuk merevisi GK yang ada kurang tepat. Karena GK tersebut
dihasilkan melalui suatu metodologi baku yang merujuk pada standar
internasioanl−United
Nations (UN). Merevisi GK sama artinya dengan mengubah
metodologi yang ada. Padahal, metode tersebut adalah yang terbaik saat ini,
meskipun masih memiliki kekurangan.
Seharusnya, Komisi XI DPR
mendorong pemerintah agar meningkatkan anggaran untuk perbaikan penyelanggraan
kegiatan statitsistik-termasuk perbaikan dan penyempurnaan metodologi-sehingga
diperoleh data kemiskinan yang lebih berkualitas. Misalnya, dengan meningkatkan
jumlah sampel yang digunakan dalam SUSENAS. Jumlah 68.000 sample rumah tangga
yang ada selama ini masih perlu ditingkatkan.
Dan yang paling penting,
Komisi XI DPR hendaknya mendorong pemerintah untuk meningkatkan jumlah penduduk
yang menjadi target program-program anti kemiskikan, yakni program
jaring-jaring pengamanan sosial (JPS) yang selama ini dikelola oleh Kementrian
Sosial seperti Jamkesmas, PKH (program keluarga harapan), PNPM
Mandiri, Raskin, beasiswa untuk orang miskin, dan beberapa program
kesejahteraan sosial lainnya.
Yang menjadi target
hendaknya bukan hanya mereka yang miskin dan hampir miskin (pengeluaran di bawah
1,2 GK), tetapi juga mereka yang termasuk kelompak hampir tidak miskin
(pengeluaran di bawah 1,5 GK). Dan konsekwensi dari hal ini sangat jelas,
yakni pemerintah harus meningkatkan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk
program-program pengurangan kemiskinan. (*)
Angka Kemiskinan Terbaik Punya BPS
Setelah membaca postingan seorang kawan perihal garis kemiskinan
BPS yang kembali diributkan oleh para wakil rakyat yang tengah kehilangan
kepercayaan karena berbagai tingkah mereka yang seringkali melukai hati rakyat
itu─
mulai dari kesenangan berpelancong ke luar negeri dengan dalih studi
banding, budaya kleptomania merampok uang negara, hingga yang terbaru kasus
mafia anggaran─gairah saya terhadap persoalan kemiskinan kembali menyeruak,
setelah sempat padam karena terlalu sibuk dengan ramalan produksi padi dan
palawija.
Saya akan menanggapi isi tautan tersebut sebagai seorang statistisi
didikan BPS, bukan sebagai politisi yang seringkali subjektif sesuai
kepentingan yang diusung. Dalam ranah politik, kebenaran seringkali kabur dan
tidak jarang mengalami deviasi. Sesuatu yang sejatinya benar bisa menjadi salah
jika sebagian besar dari anggota dewan yang katanya terhormat itu mengatakannya
sebagai suatu kesalahan.
Mengukur Kemiskinan Tidaklah Semudah Menggunakan Penggaris
Kata kemiskinan adalah sesuatu yang sangat kaulitatif. Karenanya, sangat
sulit untuk mengkurnya secara kuantitatif. Sebagai contoh, jika setiap orang
diminta melengkapi kalimat berikut, "saya miskin karena......". Akan
ada ratusan, bahkan ribuan kata yang bisa digunakan untuk melengkapi kalimat
ini, tergantung orangnya. Dan pastinya, tidak semua bisa dikuantitatifkan.
Singkat kata, mengukur kemiskinan tidaklah semudah mengukur panjang suatu objek
riil dengan sebuah penggaris. Untuk menjelaskan hal ini, saya sadurkan buat
Anda tulisan dari Dr. Kecuk Suhariyanto di Koran Kompas (12 Januari
2011), dalam artikel yang berjudul “Jumlah
Si Miskin” beliau menulis
sebagai berikut:
Mencoba menghitung jumlah penduduk miskin bukan pekerjaan mudah.
Setakat ini belum satu pun metodologi yang sempurna memotret
kemiskinan. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat
seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hanya terdiri dari satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas sehingga
bisa mengundang perdebatan panjang. Contohnya, apa yang dimaksud
dengan kehidupan bermartabat. Apa pula yang termasuk hak-hak dasar?
Apalagi, tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, seperti rasa aman
dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Dari definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah
multidimensi. Sulit mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan
pengukuran yang dipakai.
Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak
negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas
mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai
ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan.
Dalam terapannya, dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Penghitungan penduduk
miskin ini didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga
hasilnya sebetulnya hanyalah estimasi.
Data yang dihasilkan biasa disebut data kemiskinan makro. Di
Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi
Nasional. Pencacahannya dilakukan setiap Maret dengan jumlah sampel
68.000 rumah tangga. BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak
tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin
bisa diikuti dari waktu ke waktu .
Mengapa Garis Kemiskinan yang Digunakan Di Setiap Negara Berbeda?
Dalam penghitungan kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs),
garis kemiskinan (GK) merupakan instrument yang sangat penting. GK yang tidak
tepat akan menghasilkan pengukuran kemiskinan yang menyesatkan. Pada dasarnya,
GK merupakan jumlah rupiah yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar ini mencakup kebutuhan makanan yang
setara dengan 2.100 kkal per hari dan kebutuhan non-makanan (sandang,
perumahan, pendidikan, dan kesehatan).
Dalam prakteknya, GK merupakan jumlah pengeluaran reference population─20 persen populasi yang
pengeluarnnya di atas GK sementara─atas sejumlah komoditi makanan dan non-makanan yang biasa disebut basket commodity. Komposisi
komoditas yang menyusun basket ini beserta harganya sangat
memengaruhi pergerakan nilai GK.
Komposisi komoditas makanan dan non-makanan penyusun GK berbeda-beda pada tiap
negara, sesuai dengan pola konsumsi penduduknya. Itulah sebabnya kenapa nominal
GK yang digunakan di setiap negara juga berbeda. Karena itu, GK yang digunakan
di Vietnam belum tentu representatif jika digunakan di Indonesia─sekedar infromasi kawan,
ketika menghitung angka kemiskinan orang Vietnam sebenarnya datang belajar ke
BPS, karena untuk urusan yang satu ini kita dinobatkan sebagai yang terbaik di
Asia-Pasifik.
GK Nasional (BPS) Vs GK Bank Dunia
Salah satu penyakit kronik bangsa ini adalah nasionalisme yang melempem.
Mungkin, itulah sebabnya kenapa Indonesia hingga kini belum mempunyai produk
atau brand nasional yang bisa eksis dan
kompetitif di pasar internasional (go international), semisal Jepang
yang begitu digdaya dalam industri otomotif dunia lewat sederet merek seperti
Toyota, Honda, dan Yamaha atau Korea Selatan yang berjaya dengan Samsung dan
Hyundai-nya. Di pasar internasional, kita hanya dikenal sebagai negera pengekspor
bahan mentah (raw material) dan TKI.
Menurut Rhenald Kasali, sang pakar manajemen itu, suatu produk/brand akan eksis di pasar internasional─luar negeri─ jika di dalam negeri
produk/brand tersebut juga
eksis─minimal dihargai. Itulah yang terjadi pada Jepang dan Korea,
semangat nasionalisme yang diwujudkan melalui kecintaan dan kebanggaan mereka
terhadap produk dalam negeri begitu kuat. Konon kabarnya, walaupun
bermukim di Amerika, dalam urusan membeli mobil, orang Korea akan berusaha
mati-matian untuk mendapatkan mobil dengan merek Hyundai meskipun dengan harga
yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan mobil-mobil produksi
Amerika. Sesuatu yang amat kontras jika dibandingkan dengan kebiasaan orang
kita yang begitu doyan terhadap segala sesuatu yang berbau impor. Dalam mindset mereka, produk impor/buatan luar
negeri selalu lebih baik.
Dalam urusan memilih angka kemiskinan yang terjadi juga demikian. Sebagian
Ekonom dan Politisi negeri ini lebih memilih untuk menggunakan angka kemiskinan
yang dikeluarkan oleh Bank Dunia ketimbang angka BPS. Dalam pandangan mereka,
angka kemiskinan Bank Dunia jauh lebih baik dan akurat jika dibandingkan
dengan angka BPS. Pandangan yang sudah tentu keliru, karena pada dasarnya
metode yang digunakan oleh kedua institusi ini sama saja. Yang membedakan
antara keduanya hanyalah garis atau batas kemiskinan yang digunakan. Bahkan,
data yang digunakan oleh Bank Dunia dalam menghitung angka kemiskinan
sebenarnya adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang tidak
lain dan tidak bukan adalah data BPS.
Selain itu, angka kemiskinan BPS dan angka kemiskinan Bank Dunia bukanlah dua
hal yang harus dipertentangkan. Karena pada dasarnya, keduanya saling
mendukung dan digunakan untuk tujuan yang sedikit berbeda.
Terkait evaluasi terhadap pencapaian target MDGs, yang salah satunya adalah
mengurangi angka kemiskinan dunia hingga tinggal setengahnya pada tahun 2015,
Bank Dunia membutuhkan data kemiskinan yang comparable (dapat diperbandingkan) antar negara.
Dalam hal ini, angka kemiskinan yang dihitung berdasarkan GK nasional di setiap
negara tentu tidak dapat digunakan karena basket
commodity yang digunakan
berbeda pada tiap negara. Selain itu, jika GK nasional setiap negara dikonversi
ke dalam dollar PPP, maka nominalnya akan berbeda-beda. Pada kondisi seperti
ini, syarat perbandingan aple
to aple ketika
memperbandingkan angka kemiskinan antar negara tidak terpenuhi. Karena itu,
sebagai solusinya, Bank Dunia kemudian menghitung angka kemiskinan berdasarkan
GK yang distandardisasi dalam ukuran dollar PPP (paritas daya beli, bukan
dollar kurs seperti yang salah dipahami oleh sebagian ekonom dan politisi).
Dalam prakteknya, ada dua ukuran yang digunakan yakni 1 dollar PPP dan 2 dollar
PPP. GK Nasional (BPS) sendiri setara dengan 1.5 dollar PPP. Jika kemudian
timbul pertanyaan, GK mana yang paling representatif untuk Indonesia ? Jawabannya adalah punya kita
(BPS). (*)
Di Balik Angka Kemiskinan
Untuk pertama kalinya
sejak tahun 1984, pada tahun 2011 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) dua kali
menghitung jumlah penduduk miskin dalam satu tahun. Sebelumnya, penghitungan
jumlah penduduk miskin hanya dilakukan BPS pada bulan Februari/Maret. Dan sejak
tahun 2011, selain pada bulan Maret penghitungan jumlah penduduk miskin juga
dilakukan pada bulan September.
Hasil penghitungan jumlah
penduduk miskin pada September 2011 baru saja dirilis tiga hari yang lalu
(2/1). Dalam rilis tersebut BPS menyebutkan, jumlah penduduk miskin Indonesia
pada September 2011 diperkirakan sebanyak 29,89 juta orang atau sekitar
12,36 persen dari total populasi. Jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2011
di mana jumlah penduduk miskin kala itu diperkirakan mencapai 30,02 juta orang
(12,49 persen), itu artinya telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin
sebanyak 130 ribu orang atau 0,13 persen selama periode Maret-September 2011.
Mengecewakan
Saya kira, ini adalah
sebuah hasil yang mengecewakan dari upaya pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan selama ini, dan tidak berlebihan kiranya kalau dianggap sebagai
indikator buruknya kinerja pemerintahan saat ini dalam mengentaskan kemiskinan.
Betapa tidak. Enam bulan tentu bukanlah waktu yang singkat. Seharusnya, dengan
waktu setengah tahun itu capaian pemerintah─dengan segala rupa
program pengentasan kemiskinannya yang berlapis (4 klaster) dan menelan biaya
yang tidak sedikit itu─lebih baik lagi. Hanya 130 ribu orang tentulah teramat kecil dan
sama sekali tidak memuaskan.
Buruknya kinerja
pemerintah dalam pengentasan kemiskinan semakin terang dan jelas bagi kita
ketika menelaah ke mana larinya 130 ribu orang penduduk miskin yang telah
berubah status itu. Mudah untuk diduga, tak mungkin meleset, bahwa mereka
sebetulnya hanya bergeser sedikit di atas Garis Kemiskinan (GK). Dengan lain
perkataan, mereka hanya menambah jumlah penduduk hampir miskin negeri
ini yang terus bertambah selama tiga tahun terakhir (lihat peraga di atas).
Inilah sebetulnya yang
juga terjadi ketika BPS melaporkan bahwa sepanjang periode Maret 2010-Maret
2011 lalu telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 1 juta
orang. Yang satu 1 juta orang itu sebetulnya tidak berubah menjadi sejahtera.
Mereka hanya berubah status menjadi hampir miskin, yang pada tahun 2011 lalu─menurut hasil hitungan
BPS─diperkirakan
jumlahnya telah menembus angka 27,12 juta orang.
Frasa ‘hampir miskin’ (near poor) secara
kuantitaf menunjukkan bahwa secara rata-rata tingkat kesejahteraan mereka tidak
terlalu signifikan berbeda dengan penduduk miskin. Terlepas dari konsep yang
digunakan BPS dalam menetapkan siapa ‘si miskin’ (poor), tidak salah kalau kita menyatakan
bahwa mereka─yang hampir miskin itu─sejatinya juga miskin. Karena kenyataannya, sehari-hari kondisi
kesejahteraan mereka tidak jauh berbeda, bahkan sama dengan ‘si miskin’.
Mengapa bisa demikian? Jawabannya: karena secara rata-rata pengeluaran per
kapita mereka hanya berselisih tidak kurang 20 persen dari GK yang menyababkan
mereka ‘selamat’ dari kategori miskin (lihat peraga di bawah).
Kronik dan kurang
berkualitas
Melambatnya penurunan
jumlah penduduk miskin merupakan indikasi kuat kroniknya (chronic poverty) kondisi
kemiskinan yang dialami oleh sekitar 30 juta penduduk negeri ini. Yang
menyebabkan mereka begitu sulit keluar dari jerat kemiskinan. Mereka adalah
orang-orang yang termarginalkan dalam kehidupan sosialnya, berpendidikan rendah
dan tak memiliki keahlian, tak memiliki akses terhadap faktor produksi, serta
petani gurem atau buruh tani di perdesaan. Tidak sedikit diantara mereka
terkategorikan sangat miskin (poorest
of the poor)─menurut konsep BPS─dengan pengeluaran per kapita sangat jauh lebih kecil dari GK. Dan
berbagai program pengentasan kemiskinan berlapis pun akan sulit mengeluarkan
mereka dari jerat kemiskinan.
Lambatnya penurunan
jumlah penduduk miskin juga merupakan bukti bahwa pertumbuhan ekonomi yang
terjadi selama ini belum berkualitas. Jauh dari yang namanya pro-poor, karena sebagian
besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil kelompok penduduk negeri ini, yang
pastinya bukan penduduk miskin. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akses
terhadap faktor produksi. Dengan lain perkataan, pertumbuhan yang terjadi tidak
diikuti adanya pemerataan (growth
with equity). Ini ditunjukan oleh nilai Indeks Gini yang terus
menigkat selama beberapa tahun terakhir.
Dengan membandingkan
angka-angka pertumbuhan ekonomi dan angka-angka kemiskinan yang ada selama ini,
sudah cukup menjadi bukti rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi yang kerap
kali dibanggakan oleh pemerintah itu. Jika menengok data BPS, sepanjang
triwulan II dan III 2011 (periode April-September) secara rata-rata pertumbuhan
ekonomi Indonesia mencapai 6,5 persen. Padahal pada periode yang hampir sama,
yakni sepanjang Maret-September 2011, jumlah penduduk miskin hanya berkurang
sebesar 130 ribu orang atau sekitar 0,13 persen. Itu artinya, pertumbuhan
ekonomi yang terjadi memiliki dampak yang lemah dan tidak terlalu signifikan
terhadap penurunan jumlah penduduk miskin.
Tidak ada yang salah
dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bahkan sudah seperti itulah
seharusnya. Tetapi alangkah lebih elok tentunya, kalau angka-angka pertumbuhan
ekonomi yang mengesankan itu juga dibarengi dengan penurunan jumlah penduduk
miskin yang juga mengesankan.(*)
Rokok dan Si Miskin
Tahun ini, pemerintah
berencana menaikkan cukai tembakau sebesar 12,2 persen. Selain untuk mencegah
peredaran rokok dan cukai ilegal serta menggenjot penerimaan pemerintah, tujuan
langkah ini diambil adalah untuk mengurangi tingkat konsumsi rokok
penduduk negeri ini yang memang masih sangat tinggi. Langkah menaikkan tarif
cukai tembakau untuk mengurangi konsumsi rokok sebetulnya kurang efektif.
Karena, kebiasaan merokok adalah sesuatu yang adiktif, dan orang akan berhenti
merokok karena kesadaran, bukan karena harganya yang menjadi sediki lebiht
mahal.
Hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan BPS pada tahun 2007 menunjukkan bahwa
secara rata-rata penguluaran untuk rokok mencapai 12,4 persen dari total
pengeluaran setiap penduduk Indonesia setiap bulannya, nomor dua setelah
pengeluaran untuk padi-padian (19 persen). Bahkan, pengeluaran untuk rokok
ternyata lebih tinggi tiga kali lipat dibanding pengeluaran untuk pendidikan
dan kesehatan. Dan data ini saya kira masih representatif untuk kondisi saat
ini.
Selain itu, ada data yang
menunjukkan—walaupun masih perlu dipertanyakan kevalidannya—bahwa rata-rata
pengeluaran per kapita untuk rokok penduduk Indonesia mencapai Rp135.000 per
bulan. Dan saat ini, jumlah perokok di negeri ini mencapai 34 persen dari total
populasi yang diperkirakan telah menembus angka 240 juta orang.
Persoalan mengenai
konsumsi rokok di negeri ini tidak hanya menyangkut tingginya jumlah perokok.
Lebih dari itu, kebiasaan mengisap racun ini ternyata telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari keseharian banyak remaja, bahkan balita di negeri ini.
Saat ini, tidak sulit
bagi kita untuk menemukan anak-anak usia SD, SMP, apalagi SMA berkeliaran di
jalan-jalan dengan sebatang rokok di tangannya. Anda juga tentu masih ingat
dengan kasus seorang balita dari Kalimantan Timur (Kaltim) yang punya kebiasaan
unik, yakni menghisap rokok bak orang dewasa—yang dengan itu dia dijuluki baby smoker—beberapa
waktu yang lalu. Ternyata, menurut informasi dari Gubernur Kaltim, masih ada
sekitar 15 ribu balita lainnya di Kaltim yang juga memiliki kebiasaan yang
sama. Itu baru di Kaltim. Bagaimana dengan di provinsi-provinsi lainnya?
Kebiasaan merokok
ternyata juga tidak menjadi monopoli mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang
baik—berpendapatan menengah atau tinggi—statistik yang ada menunjukkan sekitar
70 persen perekok di negeri ini ternyata adalah penduduk berpendapatan rendah
alias miskin. Bahkan, pengeluaran untuk rokok di kalangan penduduk miskin cukup
tinggi, menempati posisi kedua setelah pengeluaran untuk beras.
Data yang dirilis oleh
BPS Senin lalu (2/1) menunjukkan kontribusi rokok terhadap pembentukan garis
kemiskinan menempati posisi kedua setelah beras, yakni sebesar 8,31 persen di
perkotaan dan 7,11 persen di perdesaan. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan
penduduk miskin, selain dialokasikan untuk membeli beras, juga dialokasikan
untuk membeli rokok.
Padahal, dengan
mengkonsumsi rokok tidak ada sama sekali kalori yang diperoleh, dan tentu akan
lebih bermanfaat jika pendapatan yang digunakan untuk membeli rokok
dialokasikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, misalnya, untuk pemenuhan
protein atau untuk biaya pendidikan dan kesehatan.Yang sedikit banyak dapat
membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan.
Tingginya konsumsi rokok
di kalangan penduduk miskin—yang sedikit banyak menyebabkan mereka menjadi
semakin sulit keluar dari jerat kemiskinan—adalah sebuah ironi jika dikaitkan
dengan kenyataan bahwa mereka yang terkaya di negeri ini justru adalah para
penggiat industri racun ini, para pemilik pabrik-pabrik rokok.
Sebagaimana diberitakan
dalam majalah Forbes beberapa waktu yang lalu (23/11/2011). Orang terkaya di
Indonesia adalah dua bersaudara Budi Hartono dan Michael Hartono dengan nilai
kekayaan mencapau 14 milai dollar AS atau setara dengan 127 triliun rupiah,
disusul oleh Susilo Wonowijoyo di posisi kedua dengan nilai kekayaan mencapai
10 miliar dollar AS atau sekitar 91 triliun rupiah. Sebagian Anda tentu tahu,
Hartono bersaudara adalah pemilik PT. Djarum, begitupula dengan Susilo Wonowijoyo
adalah pemilik PT.Gudang Garam.
Saya tidak mempersoalkan
kekayaan para pemilik pabrik rokok itu. Terlepas bahwa apa yang mereka produksi
adalah racun, mereka tentu telah berkontribusi terhadap perekonomian nasional
melalui penyerapan tenaga kerja dan penerimaan pajak. Tetapi, industri rokok
yang menjadikan segelintir orang di negeri ini kaya raya bukan kepalang, dan di
sisi lain memiskinkan puluhan juta penduduk negeri ini tentu sebuah ironi dan
ketidakadilan.
Dan pada tahun ini,
produksi rokok nasional diperkirakan akan mencapai 268,4 miliar batang. Jumlah
yang sudah barang tentu tidak sedikit jika dirupiahkan. Jika diasumsikan harga
satu batang rokok Rp500,- rupiah saja, itu artinya nilai produksi rokok tahun ini
bisa mencapai Rp134,2 triliun rupiah. Angka yang sangat fantastis, dan Anda
tentu bisa menerka siapa saja yang bakal diuntungkan dan menjadi lebih kaya
dengan nilai produksi sebesar itu. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah
pemilik nama-nama yang telah saya sebutkan di atas. Terus bagaimana dengan
nasib perokok miskin yang jumlahnya tidak sedikit di negeri ini, apakah mereka
juga bakal diuntungkan? Apapun jawabannya, yang pasti mereka samasekali tidak
mendapatkan manfaat dan keuntungan dari setiap batang rokok yang mereka
hisap—yang justru kian memiskinkan mereka itu.
Data BPS: Pengemis Tua, Kok Gak Miskin?
Diketahui,
untuk menghitung jumlah orang miskin di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS)
menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (makanan dan non makanan).
Dalam prakteknya, nilai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap
orang-agar tidak terkategori miskin-dinyatakan dalam jumlah rupiah tertentu
yang kemudian disebut garis kemiskinan (GK). Orang dikatakan miskin jika dalam
sebulan pengeluarannya lebih kecil dari nilai GK.
Kelemahan
mendasar metode ini adalah defenisi kemiskinan yang sejatinya luas dan
multidimensi tereduksi hanya pada dimensi ekonomi saja. Maklum, tidak semua
dimensi yang menjelaskan kemiskinan (sebagian besar kualitatif) dapat diukur
secara statistik/kuantitatif. Padahal, di sisi lain pemerintah sangat
membutuhkan statistik kemiskinan sebagai dasar pijakan perumusan dan alat
evaluasi berbagai kebijakan anti kemiskinan. Dengan metode yang digunakan BPS
selama ini, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi meskipun tidak didasarkan pada
metode yang mampu mengakomodir semua dimensi kemiskinan.
Pada
September 2011, GK yang digunakan BPS untuk menghitung jumlah orang miskin
sebesar Rp263.594 di perkotaan dan Rp223.181 di perdesaan. Itu artinya, menurut
BPS, di perkotaan, Si Miskin adalah orang yang pengeluaran perbulannya kurang
dari Rp263.594, sementara di perdesaan, Si Miskin adalah orang yang
pengeluaran perbulannya kurang dari Rp263.594. Dengan nilai GK sebesar
itu diperoleh: jumlah orang miskin di perkotaan sebesar 10,95 juta orang dan di
perdesaan sebesar 29,89 juta orang.
Bagi
sebagian orang, bahkan banyak orang, nilai GK yang digunakan BPS di atas
terlalu kecil dan kurang realistis. Tidak jarang, dengan nilai GK yang dianggap
terlalu kecil itu, yang sejatinya didasarkan pada sebuah metode baku, BPS
dituduh dengan sengaja ‘mempermainkan’ nilai GK sehingga diperoleh angka
kemiskinan yang sesuai dengan kehendak pemerintah, dalam perkataan lain
angka kemiskinan telah dipolitisasi. BPS pun menjadi sasaran berbagai tuduhan
miring dari khalayak, misalnya, ABS (asal bapak senang), tak lagi independen,
dan alat penguasa.
Argumen
pengemis tua
Salah
satu argumen yang nampaknya cukup kuat untuk mempersoalkan realistis atau
tidaknya GK yang digunakan BPS dalam menetapkan siapa Si Miskin adalah apa yang
saya sebut “argumen pengemis tua.”Argumen ini dapat dijelaskan melalui
ilustrasi berikut:
Misalkan,
Sarima (55 tahun) adalah seorang pengemis tua yang sehari-hari
menjalankan profesinya sebagai peminta-minta di jembatan penyebrangan menuju
halte bus Transjakarta Bidaracina, Jakarta Timur. Setiap harinya, secara
rata-rata, dia bisa memperoleh uang sebesar Rp20.000 dari hasil meminta-minta.
Itu artinya, dalam sebulan, total pendapatan Sarima dari hasil meminta-minta
sebesar Rp600.000 (asumsi: satu bulan ada 30 hari).
Jika
menggunakan GK sebesar Rp263.594, itu artinya, Sarima, Si Pengemis Tua,
yang sehari-hari berpakaian compang-camping, tampak lusuh, dan tinggal di
sebuah gubuk reyot di bantaran Kali Ciliwung tidak dianggap miskin menurut
konsep BPS. Tentu, ini sangat tidak realistis dan betul-betul bertentangan
dengan akal sehat. Dengan demikian, dari kasus ini terbukti sudah, GK yang
digunakan BPS memang tidak realistis.
Tapi,
tunggu dulu. Terlalu terburu-buru sebetulnya menyimpulkan GK yang digunakan BPS
tidak realistis berdasarkan kasus di atas tanpa melakukan penelaahan lebih
jauh.
Selama
ini, penghitungan jumlah orang miskin yang dilakukan BPS didasarkan pada hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Survei ini mencatat pengeluaran
(makanan dan non makanan) sebanyak 68.800 sampel rumah tangga di seluruh
Indonesia.
Misalkan,
keluarga Sarima yang terdiri dari 3 anggota rumah tangga (Sarima tinggal
bersama isterinya Hariswati dan anaknya Anwar) terpilih sebagai sampel SUSENAS.
Jika hasil meminta-minta Sarima merupakan satu-satunya sumber pendapatan dalam
keluarganya, maka setiap bulan hanya akan ada sekitar Rp600.000 uang yang
dikeluarkan dalam keluarga tersebut. Dengan demikian, pegeluaran per bulan keluarga Sarima
yang tercatat dalam SUSENAS juga sekitar Rp600.000 (asumsi: semua pendapatan
Sarima habis dipakai untuk konsumsi dan tidak ada yang ditabung). Dengan lain
perkataan, pengeluaran per kapita per bulan setiap anggota keluarga
Sarima adalah sebesar Rp200.000 (note; pendekatan yang digunakan dalam
SUSENAS dalah rumah tangga, bukan individu). Itu artinya, semua anggota keluarga
Sarima (termasuk Sarima Si Pengemis Tua) dianggap miskin berdasarkan hasil
SUSENAS karena berpengeluaran kurang dari Rp263.594 per bulan.
Permisalan
lain, dengan nilai GK sebesar Rp263.594, sebuah keluarga di perkotaan dengan
empat orang anggota akan terkategori miskin (setiap anggota) jika pengeluaran
(bisa bersumber dari pendapatan salah satu atau lebih anggota rumah tangga) per
bulan keluarga tersebut kurang dari Rp1.054.376 per bulan.
Pokermulia.NET |
BalasHapusKARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda dan mendapatkan jackpotnya ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• Ceme
• Ceme Keliling
• Capsa
• Domino
• Poker
• Superten
• omaha
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +85593842699
• BB : D3F98F26
• line : POKERMULIA
Come & Join Us