Archive for: genetik
Penemuan Gen Terkait Autisme
Sebuah hasil penelitian yang menarik dalam edisi terbaru jurnal ilmiah Cell menyebutkan bahwa para peneliti telah berhasil menemukan beragam gen yang berkontribusi pada autisme dan di antaranya juga berhubungan dengan gangguan mental lain seperti schizophrenia maupun keterlambatan perkembangan intelektual. Hasil ini menunjukkan bagaimana kelompok gen yang ditemukan sangat sensitif bahkan terhadap perubahan kecil. Dari 33 gen yang berhasil diidentifikasi memiliki korelasi dengan autisme, 22 di antaranya baru ditemukan untuk pertama kalinMenyingkap Kehidupan di Luar Teori Dasar
Mendengar kata arsen kita pasti langsung teringat racun, karena senyawaan arsenik memang sangat berbahaya bagi tubuh dan bahkan sangat mematikan. Lalu bagaimana jadinya jika ada mikroorganisme yang ternyata bersahabat dengan arsen? Jangan-jangan masih ada hubungan saudara dengan alien.Awal Desember 2010, masyarakat Indonesia digegerkan dengan beberapa fenomena alam, seperti lahirnya sapi berkaki enam dan kambing yang berperilaku layaknya anjing. Berita akan fenomena ini begitu besar sehingga mendapat perhatian dari masyarakat luas. Pada saat yang bersamaan, ilmuan dunia digegerkan oleh suatu penemuan yang lebih besar. Bakteri yang dapat hidup dan berkembang biak menggunakan senyawa arsen.
Kenapa Usia Wanita Lebih Panjang Dibanding Pria (Genetic Reason)
Para ilmuan Jepang menemukan bahwa anak tikus yang dihasilkan dari material genetic yang berasal dari dua tikus betina tanpa ada material genetic dari ayahnya, hidup lebih lama dibanding anak tikus dengan campuran genetic normal, campuran gen maternal dan paternal. Penemuan ini bias menjadi bukti awal bahwa gen sperma mungkin memberi efek pada lama hidup mamalia.Penelitian ini menemukan bahwa tikus dari genome dua betina (bi-maternal mice/BM) rata-rata mempunyai usia 186 hari lebih lama dibanding tikus control (tikus dari kombinasi normal gen jantan dan betina). Umur rata-rata dari tikus hasil percobaan ini adalah 700-800 hari.
Studi ini bermula dari pertanyaan mengapa wanita umumnya mempunyai usia yang labih panjang di banding pria. Dan ini terjadi hampr pada semua jenis mamalia. Jenis betina mempunyai usia hidup yang lebih lama dibanding jenis jantan. Fenomena ini sampai sekarang belum dapat dijelaskan dari segi ilmu pengetahuan dan science. Apakah panjangnya usia pada mamalia ditentukan oleh komposisi genom dari hanya satu orangtua atau dari kedua orangtuanya?
Untuk menjawab ini Prof Kono dan Dr Kawahara mempelajari tikus yang di ‘buat’ tanpa adanya peran sperma dari tikus jantan.
Untuk melakukan ini, mereka mengumpulkan oocyte (sel telur) yang belum berkembang dari tikus berumur satu hari (day-old mice), memanipulasi oocyte ini sehingga gen-nya mempunyai sifat seperti gen pada sperma. Kemudian ditranplantasikan kedalam oocyte tikus betina dewasa yang telah dihilangkan inti selnya (enucleated oocytes). Sel telur yang telah direkonstruksi ini akan berkembang menjadi embrio, yang kemudian diransfer kedalam rahim tikus betina yang kelak akan menjadi ibunya. Tikus yang lahir akan menjadi tikus bi-maternal (BM), mempunyai material genetic yang berasal dari dua orangtua betina, tanpa ayah.
Sebagai control digunakan tikus melalui pembuahan normal yang secara genetic sama dengan tikus BM, hanya saja menggunakan campuran gen normal, jantan dan betina.
Secara keseluruhan terdapat 13 tikus BM dan 13 tikus control. Lamanya hidup tikus BM rata-rata adalah 841.5 hari, sementara tikus control 655.5 hari, 186 hari lebih lama. Para ilmuan juga menimbang berat tikus-tikus tersebut pada hari ke 49 dan 600 (20 bulan setelah kelahiran). mereka menemukan tikus BM lebih ringan dan kecil daripada tikus control. Tikus BM juga terindikasi mempunyai system immune yang lebih baik, dengan peningkatan signifikan pada salah satu sel darah putih, eosinophil.
Kedua kelompok tikus dipelihara dalam lingkungan yang sama, dengan akses bebas ke makanan, sehingga perbedaan karena factor lingkungan bias diabaikan.
Menurut Prof Kono, alasan tikus BM cenderung memiliki usia hidup yang lebih lama adalah karena factor represi dari gen yang disebut Rasgrf1 yang terdapat pada tikus BM. Gen ini umumnya terekspresi dari kromosom paternal dan merupakan imprinted gen pada kromosom 9 yang berhubungan dengan pertumbuhan post-natal.
Namun belum jelas apakah Rasgrf1 betul-betul berhubungan dengan lamanya usia hidup atau tidak. Tapi yang jelas gen ini menjadi salah satu kandidat kuat sebagai gen yang bertanggung jawab terhadap fenomena tersebut.
Meskipun masih sangat awal, studi ini mungkin dapat memberikan jawaban tentang pertanyaan berikut.
Apakah lamanya usia hidup pada mamalia ditentukan oleh komposisi genom salah satu atau kedua orangtua??
Dan mungkin juga pertanyaan lain, yaitu apakah wanita diuntungkan karena mempunyai usia hidup lebih lama secara genetic dibanding pria..??
Artikel terkait:
http://www.sciencedaily.com/
Gen Penyandi Rambut Ikal
Jika pernah membaca novel Laskar Pelangi salah satu dari tetralogi novel national best seller karangan Andrea Hirata pasti mengenal salah satu tokoh utamanya yaitu si Ikal. Dipanggil si Ikal karena tokoh utama tersebut memiliki ciri khas yaitu rambut ikalnya.Rambut ikal ini juga sering menjadi pilihan model rambut para pesohor yang tak jarang ditiru oleh para penggemarnya. Jika sejak lahir sudah memiliki tipe rambut ikal maka tidak perlu repot-repot untuk ke tempat perawatan rambut untuk merubah tampilan rambut tersebut, lain halnya dengan orang yang memiliki tipe rambut lurus dengan teknik tertentu baik secara mekanis ataupun penggunaan senyawa kimiawi rambut luruspun bisa di rubah menjadi ikal di tempat perawatan rambut.
Sejak diketahui gen trichohyalin adalah gen yang bertanggung jawab dalam pembentukan rambut ikal oleh para ilmuwan dari Queensland Institute of Medical Research (QIMR), munculah ide untuk merubah rambut lurus maupun ikal dengan pendekatan bioteknologi. Gen trichohyalin ini sudah di ketahui dari awal berperan penting dalam pembentukan folikel di rambut, namun peneliti di QIMR selanjutnya mengetahui gen tersebut berperan pembentukan ke-ikal-an rambut.
Profesor Nick Martin ketua QIMR Genetic Epidemiology Laboratory bersama koleganya Dr. Sarah Medland menerangkan dari penelitian yang di lakukan bahwa variasi di gen tersebut menyebab lurus dan ikalnya rambut, di terangkan juga bahwa 45 persen orang Eropa berambut lurus, 40 persen bergelombang sisanya 15 persen berambut ikal. Penelitian tersebut di lakukan dengan manganalisa data dari studi 5000 anak kembar di Australia selama 30 tahun, hasil riset ini sudah di publikasikan di American Journal of Human Genetics.
Dengan potensi ini maka dapat di kembangkan perawatan untuk merubah rambut baik lurus maupun ikal tanpa pemanasan atau menggunakan bahan kimiawi yang bisa merusak rambut, Prof. Martin telah melakukan diskusi dengan perusahan kosmetik besar di Paris untuk mewujudkan ide potensial ini. Kita tunggu saja perkembangannya.
Penemuan gen ini juga penting di bidang forensik, dengan mengetahui pola variasi dari gen trichohyalin sampel di tempat kejadian perkara maka bisa secara cepat di ketahui gambaran tersangka apakah berambut lurus atau ikal. Dapat juga dipakai bagi orang tua yang ingin memprediksi jenis rambut janin yang sedang di kandungnya.
Sumber:
- http://www.telegraph.co.uk/
- http://www.nydailynews.com/
- http://www.wikipedia.com
Genetik dan Kecerdasan
Usaha untuk membuktikan superioritas dan inferioritas dari ras manusia yang berbeda telah lama dipelajari dan memiliki sejarah yang panjang. Dari mulai justifikasi perbudakan, sampai pada kebijakan genetik Nazi Jerman. Studi modern tentang hubungan ras dan kecerdasan terus menimbulkan banyak kontroversi.Pendapat yang mengatakan bahwa ras/etnis manusia yang berbeda memiliki struktur dan ukuran otak yang berbeda telah memacu studi dan penelitian yang intensif selama abad 19 sampai awal abad 20. Selama periode tersebut, penelitian dibidang ini seringkali digunakan untuk mengklaim bahwa satu ras lebih superior daripada ras lainnya, untuk selanjutnya menjustifikasi adanya kemiskinan dan ketakberadaban dari ras ‘inferior’.
Gaung nyata kontroversi terjadi pada tahun 1994, setelah buku best selling The Bell Curve, yang ditulis oleh Charles Murray dan Richard Hermstein, mengatakan bahwa terdapat perbedaan IQ antara ras manusia yang bersifat genetik (permanen) sehingga kesejahteraan manusia bisa ditingkatkan dengan meningkatkan kecerdasan generasi berikutnya dengan cara tidak mengawini/memilih perempuan yang ‘salah’ (dengan IQ rendah) untuk menghasilkan keturunan.
Akibat pernyataan ini, sang penulis buku banyak mendapat kritik dari ilmuan-ilmuan yang tidak sependapat. Salah satunya adalah ahli biologi evolusi, Stephen Jay Gould, yang mengkritisi test IQ yang dilakukan bersifat bias dan mengatakan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan adanya perbedaan kecerdasan diantara grup/ras manusia. Kecerdasan tidak bisa ditentukan hanya dari satu single faktor saja.
Penelitian lebih lanjut tentang hubungan ras manusia dan tingkat IQ mengungkapkan bahwa tingkat IQ yang tertinggi dimiliki oleh bangsa Asia dengan rata-rata IQ 106, kemudian bangsa kulit putih dengan rata-rata IQ 100, dan yang paling rendah adalah bangsa kulit hitam (negro) dengan rata-rata IQ 75-85.
Sementara studi dengan menggunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging) menemukan hubungan antara besar volume otak dengan IQ. Otak yang lebih besar mengandung lebih banyak neurons dan synapses serta memproses informasi dengan lebih cepat. Orang-orang Asia mempunyai ukuran otak lebih besar 1 inchi kubik dari bangsa kulit putih dan 5 inchi kubik dari bangsa kulit hitam (http://en.wikipedia.org/wiki/Race_and_intelligence).
Cumulative IQ gaps by race or ethnicity based on 1981 U.S. distributions. According to these findings, WAIS IQs for Whites (mean = 101.4, SD = 14.7) were higher than those for Blacks (mean = 86.9, SD = 13.0); distributions for Hispanics (mean = 91) and East Asians (mean = 106, SD = not provided) are less precise because of overlap and small sample size. Based on Reynolds et al. 1987, p. 330
Namun hasil ini diragukan oleh banyak ilmuan. Mereka berpendapat adanya diskriminasi dan rasisme dalam studi yang dilakukan. Bangsa Afrika yang merupakan bangsa kulit hitam memprotes keras hasil tersebut.Pada tahun 2002, Richard Lynn, seorang profesor psikologi di University of Ulster, menyulut api perdebatan baru dengan mempulikasikan bukunya, IQ and the Wealth of Nations. Ditulis bersama Tatu Vanhanen, seorang Professor ilmu politik di University of Tampere, Finland. Buku ini dikritik karena data berbagai negara yang dijadikan bahan studi adalah lemah dan kurang, tidak melihat keragaman budaya, dan salah dalam menganalisis. Negara yang mempunyai skor tertinggi lebih karena disebabkan proses edukasi.
Studi lain yang dilakukan para ahli untuk menunjukkan adanya hubungan antara genetik dengan kecerdasan (IQ) yaitu dengan melakukan tes IQ berulang-ulang, dan memeriksa kemiripan nilai akhirnya.
Satu orang dites IQ dua kali korelasinya 87%. Artinya, bahkan jika satu orang diuji IQ-nya dua kali, kemiripan IQ-nya tidak selalu sama — tetapi 87% menunjukkan kesamaan. Korelasi IQ dua saudara kembar setelur yang hidup serumah 86%. Kalau saudara kembar setelur tetapi tidak serumah 76%. Kalau saudara tidak setelur tapi serumah 55%. Dan kalau serumah tapi bukan saudara kandung 0%. Wow.. 0%! Nampaknya memang genetika memiliki kaitan dengan IQ.
Kecerdasan merupakan konsep yang sulit untuk didefinisikan. Beberapa mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan otak untuk berpikir secara logis dan belajar hal-hal baru. Dan beberapa lagi, terutama para ahli psikologi berpendapat bahwa kecerdasan terbagi menjadi beberapa subkategori, misalnya pertimbangan sebab akibat, problem solving, dan memori (daya ingat). Sehingga membuat suatu skala tertentu untuk mengukur kecerdasan adalah hal yang sulit.
Meskipun secara genetik seseorang memilki tingkat kecerdasan yang tinggi, namun asupan nutrisi, didikan orang tua dan lingkungan, budaya, semuanya ikut mempengaruhi perkembangan kecerdasannya.
Kecerdasan mungkin mirip dengan bakat. Seseorang yang mempunyai bakat tertentu, akan menjadi mahir di bidang tersebut asal bakatnya diasah dan dilatih secara terus menerus. Sebaliknya, bakatnya akan sia-sia bila tidak pernah diasah dan dilatih. Sebuah studi mengatakan bahwa kecerdasan ditentukan dari faktor genetik 50% dan lingkungan (budaya) 50%. I
ngin diskusi mengenai topik ini..? Silahkan bergabung melalui Facebook di Group ScienceBiotech.
Artikel terkait:
Sang Penemu 23 Kromosom dari Indonesia
Siapa sangka seorang ilmuwan dari Indonesia ternyata berperan penting dalam perkembangan bioteknologi khususnya genetika. Dia bersama koleganyalah yang menemukan dan memastikan bahwa kromosom manusia berjumlah 23 pasang, padahal sebelumnya para ilmuwan meyakini bahwa jumlah kromosom manusia adalah 24. Nah lho!Kisahnya bermula tahun 1921, ada 3 orang yang datang kepada Theophilus Painter meminta untuk dikebiri. Dua pria kulit hitam dan seorang pria kulit putih itu merelakan ‘senjata’ mereka dicopot berdasarkan kepercayaan yang mereka anut. Painter yang orang Texas ini lantas mengamati isi testis ketiga orang tadi, dia sayat tipis-tipis, lalu diproses dengan larutan kimia, dan dia amati di bawah mikroskop. Ternyata ia melihat ada serabut-serabut kusut yang merupakan kromosom tak berpasangan pada sel testis. Hitungan dia saat itu ada 24 kromosom. Dia sangat yakin, ada 24.
‘Keyakinan’ ini dikuatkan oleh ilmuwan lain yang mengamati dengan cara berbeda, mereka pun mendapat hasil yang sama, 24 kromosom. Bahkan hingga 30 tahun ‘keyakinan’ ini bertahan. Begitu yakinnya para ilmuwan akan hitungan ini sampai-sampai ada sekelompok ilmuwan meninggalkan penelitian mereka tentang sel hati manusia karena mereka tidak menemukan kromosom ‘ke-24′ dalam sel tersebut, mereka ‘hanya’ menemukan 23 saja. Ilmuwan lain berhasil memisah-misahkan kromosom manusia dan menghitungnya, jumlahnya? Tetap 24 pasang.
Barulah 34 tahun setelah ‘tragedi’ pengebirian oleh Painter, ilmuwan menemukan cara untuk memastikan bahwa jumlah kromosom manusia hanya ada 23, bukan 24. Adalah Joe-Hin Tjio yang bermitra dengan Albert Levan di Spanyol menemukan teknik yang lebih baik untuk mendapatkan jumlah 23 pasang kromosom manusia. Bahkan ketika mereka menghitung ulang gambar eksperimen terdahulu yang menyebutkan bahwa jumlahnya ada 24, mereka mendapati hanya ada 23. Benar-benar aneh, mata siapa yang bisa error begini?
Dan memang kenyataan bahwa manusia hanya memiliki 23 pasang kromosom dianggap aneh dan mengejutkan. Pasalnya, simpanse, orang utan dan gorila, yang kandungan genetiknya mirip dengan manusia memiliki 24 pasang kromosom. Jadi kromosom manusia ini lain daripada bangsa ungka (ape) yang lain. Dan usut punya usut, ternyata ada dua kromosom pada gorila yang jika digabungkan ukurannya akan mirip dengan kromosom 2 pada manusia. Sungguh ajaib memang, perbedaan yang ‘kecil’ ini ditambah sedikit keragaman antara gen-gen manusia dan gorila, membuat ‘penampakan’ keduanya jauh berbeda.
Oh ya, kembali ke sang penemu 23 pasang kromosom pada manusia, salah satunya, yaitu Joe-Hin Tjio, adalah orang Indonesia.
Sekilas Joe-Hin Tjio
[simage=223,144,y,left]Seperti ditulis dalam Encyclopædia Britannica, Tjio (diucapkan CHEE-oh) lahir di Jawa tanggal 2 November 1919. Tjio kecil bersekolah di sekolah penjajah Belanda, kemudian dia sempat mendalami fotografi mengikuti jejak ayahnya yang juga seorang fotografer profesional. Namun selanjutnya Tjio memutar stir ke bidang pertanian dengan kuliah di Sekolah Ilmu Pertanian di Bogor, waktu itu Tjio berusaha mengembangkan tanaman hibrida yang tahan terhadap penyakit. Dari sinilah pondasi ilmu genetika membawanya menjadi seorang ahli genetik terkemuka kelak.
Sempat dipenjara selama tiga tahun saat masa pendudukan Jepang, Tjio melanjutkan pendidikannya ke Belanda melalui program beasiswa. Ia melanjutkan kembali studinya mengenai cytogenetik tanaman dan serangga hingga menjadi ahli dalam bidang tersebut. Kemudian Tjio menghabiskan waktu 11 tahun di Zaragoza setelah pemerintah Spanyol mengundangnya untuk melakukan studi dalam program peningkatan mutu tanaman. Di sela-sela liburannya, Tjio pun nyambi riset di Institute of Genetics di Lund Swedia dan tertarik untuk meneliti jaringan sel mamalia. Di sinilah penemuannya yang menghebohkan itu ia lakukan. Pada tahun 1955, Tjio menggunakan suatu teknik yang baru ditemukan untuk memisahkan kromosom dari inti (nukleus) sel, ia merupakan salah satu peletak pondasi cytogenetik modern –ilmu yang mempelajari hubungan antara struktur dan aktifitas kromosom serta mekanisme hereditas– sebagai sebuah cabang utama ilmu genetika. Penelitiannya yang lain pada tahun 1959 membawa pada penemuan bahwa orang-orang yang terkena Down Syndrome memiliki tambahan kromosom dalam sel-sel mereka.
Ada cerita menarik di balik penemuan jumlah 23 pasang kromosom ini, selain memang hasil penelitiannya yang menghebohkan, Tjio pun melakukan tindakan yang cukup menggemparkan dunia riset Eropa karena ia menolak untuk mencantumkan Albert Levan (kepala Institute of Genetics tempat risetnya dilakukan) sebagai Author utama dalam jurnal yang diterbitkan dalam Scandinavian Journal Hereditas tahun 1956 itu, padahal itu sesuatu yang ‘wajib’ sesuai konvensi Eropa yang telah berlangsung lama. Tjio bahkan mengancam akan membuang pekerjaannya itu jika Tjio tidak dicantumkan sebagai Author utama. Akhirnya, mengingat ini adalah penemuan besar, Levan mengalah dan dia dicantumkan hanya sebagai co-author.
[simage=222,160,y,right]
Di sisa 37 tahun terakhir karirnya, Tjio bekerja di NIH (National Institute of Health) Washington. Di sana Tjio mengkompilasi koleksi-koleksi foto-foto ilmiah yang mendokumentasikan penelitian-penelitiannya yang luar biasa. Ternyata bakat fotografi terpendamnya tersalurkan juga di NIH. Prestasi Tjio pun tak bisa dipandang remeh, bahkan sangat membanggakan, terbukti dengan anugerah Outstanding Achievement Award dari Presiden Kennedy tahun 1962.
Tjio tutup usia tanggal 27 November 2001, 25 hari setelah ultahnya yang ke 82 di Gaithersburg, Maryland, Amerika. Kita boleh berbangga sekaligus prihatin, bangga karena ilmuwan kelahiran Indonesia mampu memberi sumbangsih besar untuk ilmu pengetahuan, tapi juga prihatin karena di negeri kita ‘belum’ menjadi tempat bagi ilmuwan luar biasa. Banyak potensi besar orang-orang cerdas yang kurang diperhatikan, sehingga mereka ‘dibajak’ oleh negara-negara lain yang sudah maju dan mau menghargai kehebatan mereka, bahkan sejak mereka masih sangat muda. Tentu sayang jika orang hebat seperti Joe-Hin Tjio yang lahir di Jawa pada akhirnya dikenal sebagai ahli genetik Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar